Hal itu disampaikan drg Dwi Anie Lestari, SpOrt, pengurus Ikatan Ortodontis Indonesia (IKORTI) Komda Jaya. Selain faktor keturunan, drg Dwi menyebut ada beberapa kebiasaan saat kecil yang berkontribusi pada malokusi.
"Misalnya terlalu lama minum susu di dot karena saat anak mengisap susu di dot akan ada efek menjulurkan lidah dan itu bisa terbawa sampai besar. Ketika anak bicara, lidah keluar-keluar gitu, itu terbawa. Kemudian, gigi pun bentuknya nggak rapat di depan karena terdorong oleh lidah," tutur drg Dwi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sela-sela Peluncuran Formula Orthodontic Series di Balai Kartini, Jakarta, Senin (14/12/2015), drg Dwi menyebutkan kebiasaan lain yang bisa menyebabkan malokusi yakni suka menggigit kuku atau pensil sehingga gigi menjadi renggang. Atau, saat kecil anak sering pilek hingga dia sulit bernapas lewat hidung karena mampet.
Akibatnya, anak pun lebih nyaman bernapas lewat mulut. Karena sudah menjadi kebiasaan, saat menonton TV atau sedang bermain komputer misalnya, anak akan menganga. Ketika melihat anak terbiasa menganga, menurut drg Dwi sebaiknya orang tua lebih berhati-hati lagi.
"Jangan dianggap biasa ketika melihat anak asyik nonton TV atau melamun lalu ternganga. Dengan begitu, giginya otomatis terdorong, meskipun kita melihat gaya dorongnya yang tidak terlalu besar tapi tetap ada kontribusi pada terdorongnya gigi," lanjut drg Dwi.
Selain itu, hobi mengonsumsi makanan yang manis-manis hingga membuat gigi berlubang, akan membuat anak takut mengunyah makanan di kedua sisinya. Akibatnya, rahang dan giginya pun tidak simetris. Bagi orang tua, drg Dwi mengingatkan untuk mulai rutin memeriksakan kondisi gigi buah hatinya, setidaknya saat anak sudah berusia enam tahun. Toh jika terjadi malokusi, bisa diberi perawatan atau sekadar pencegahan supaya malokusi tidak makin parah.
Baca juga: Anak Usia 5 Tahun Sudah Bisa Dibiarkan Gosok Gigi Sendiri? Ah Belum Tentu (rdn/up)











































