November: Cerita Pilu Tenaga-tenaga Medis yang Meninggal di Daerah Terpencil

Kaleidoskop 2015

November: Cerita Pilu Tenaga-tenaga Medis yang Meninggal di Daerah Terpencil

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Senin, 04 Jan 2016 15:50 WIB
November: Cerita Pilu Tenaga-tenaga Medis yang Meninggal di Daerah Terpencil
Foto: istimewa
Jakarta - Namanya Dionisius Giri Samudra. Dokter asal Jakarta yang mengabdikan dirinya dalam program internship di Maluku itu menghembuskan napas terakhir setelah terserang campak dengan komplikasi ensefalitis (radang otak).

Setelah jatuh sakit, Dionisius sebenarnya langsung dirawat di RS Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Namun kondisi pria muda yang akrab disapa Andra itu justru terus memburuk.

Bahkan dari pemeriksaan terakhir, Andra dilaporkan mengalami penurunan fungsi ginjal, liver serta gangguan pernapasan. "Bahkan untuk bicara juga sulit, dan tubuhnya sudah lemah," kata dr Martin, spesialis penyakit dalam yang sempat menangani Andra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


dr Martin mengatakan, ada niatan untuk merujuk Dionisius ke rumah sakit di Kota Tual. Namun rencana tersebut terhalang sulitnya transportasi menuju kota tujuan.

"Kita mau rujuk tidak berani. Karena kondisi transportasi yang sulit. Naik kapal fery bisa 12 jam ke kota terdekat yakni Kota Tual. Naik pesawat tidak bisa karena sudah sebulan ini pesawat tidak beroperasi," kata dr Martin.

Campak dikatakan pakar memang dapat memicu terjadinya peradangan pada otak meskipun kemungkinannya sangat kecil. Ensefalitis sendiri memiliki tingkat kefatalan mencapai 30 persen, itupun jika pengobatan dilakukan secara maksimal. Sedangkan untuk mencegah atau menangani ensefalitis juga tidak mudah, mengingat diagnosisnya juga sulit untuk dilakukan.
 
Baca juga: Kisah Tragis Dokter Muda di Aru, Sakit dan Tak Tertangani karena Transportasi
 
Kisah pilu dr Andra juga disusul dengan kabar meninggalnya seorang bidan bernama Anik Setia Indah yang bertugas di Desa Darit, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Bidan ini tengah hamil 8 bulan saat harus menolong 2 kasus persalinan di rumah pasien.

Sebenarnya hari itu Bidan Anik sedang cuti karena akan melahirkan, dan suaminya pun melarang ketika tugas memanggil. Namun karena dedikasinya, Bidan Anik tetap berangkat dengan bersepeda motor. Dua pasien yang ditolongnya selamat, namun begitu sampai di rumah, Bidan Anik justru bermasalah dengan kehamilannya.


Karena lokasinya sangat jauh bila harus dirujuk ke Pontianak, Bidan Anik akhirnya hanya bisa ditangani di rumah sakit kabupaten. Bayi dalam kandungannya tidak tertolong dan beberapa waktu kemudian, ia ikut menghembuskan napas terakhir setelah mengalami pendarahan akibat solusio placenta atau lepasnya plasenta dari dinding rahim.

Belum surut ucapan belasungkawa untuk Bidan Anik, kabar duka lain juga menyertai kepergian Bidan Dwi Endah Prihatiningsih, seorang bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Kampung Kensi, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, pada tanggal 29 November 2015 silam.

Bidan Endah meninggal akibat kecelakaan saat sedang merujuk pasien ke Ibu Kota Distrik Bofuwer dengan menggunakan long boat. Kondisi gelap pada malam hari memicu terjadinya tabrakan dengan long boat milik masyarakat. Bidan Endah ditemukan terapung, lalu meninggal saat dievakuasi ke Kaimana yang berjarak 120 km. Rekan sejawatnya, Bidan Mahyaya Renwarin kini dirawat karena cedera patah kaki.


Selain menyampaikan duka mendalam, IBI menekankan kurangnya perhatian pemerintah terhadap profesi bidan dan masyarakat. Minimnya fasilitas di pedalaman dan buruknya sistem rujukan telah menewaskan para 'pahlawan kesehatan'.

"Kematian bidan Anik adalah salah satu kasus yang dapat dicegah, namun karena fasilitas yang tidak memadai maka nyawa bidan Anik tidak dapat tertolong. Serta akses yang sangat buruk dalam sistem rujukan, yang akhirnya mencelakai bidan Dwi Endah dan Mahyaya Renwarin," tulis IBI dalam rilisnya.

Baca juga: Duka di Penghujung 2015, Sisi Kelam Perjuangan Para Bidan di Pedalaman (lll/up)

Berita Terkait