Riset rompi antikanker ini bermula dari sebuah teknologi yang dinamakan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) yang dikembangkan Warsito sejak mengambil pendidikan S3 di Jepang.
Pemindaian berbasis teknologi elektromagnetik ini dipakai juga oleh badan antariksa AS, NASA untuk mendeteksi keretakan di badan pesawat. Dan sebagai pemegang paten internasionalnya, Warsito mengembangkannya lagi menjadi alat deteksi kanker pada manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Selanjutnya,Warsito juga mengembangkan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Dua alat berbasis gelombang listrik statis dengan tenaga baterai itu terbukti dapat membunuh sel kanker lebih mudah dari kemoterapi. Jika kemoterapi terasa menyiksa, maka dengan alat ini hanya mengeluarkan keringat berlendir dan sangat bau. Urine dan kotoran yang dikeluarkan penderita juga berbau busuk karena sel-sel kanker ikut keluar bersama urine, keringat dan kotoran.
Namun teknologi ini belakangan menuai pro dan kontra karena diterapkan pada manusia tanpa melalui prosedur uji klinis. Dimulai pada tanggal 20 November 2015, di mana Kemenkes melayangkan sebuah surat yang dikirim ke klinik Warsito di Alam Sutera, Tangerang.
Dalam surat tersebut, Sekretaris Jendel dr Untung Suseno Sutarjo, M.Kes., meminta Walikota Tangerang untuk menertibkan klinik milik Dr Warsito dan PT Edwar Technology. Oleh Kemenkes, klinik Dr Warsito yang menyediakan layanan ECCT ini ditutup sementara untuk proses review.
![]() |
Pihak Warsito pun menyikapi kebijakan ini dengan lebih memilih melakukan rebranding, utamanya mengganti nama 'C-Care Klinik Riset Kanker' menjadi 'C-Care Riset Kanker'. Mereka juga mengklaim hanya melakukan riset pengembangan alat pendeteksi dan pembasmi sel kanker.
Di awal Desember, Warsito akhirnya bertemu dengan pihak Kemenkes dan menyepakati 3 hal, yaitu:
1. Kementrian Kesehatan melakukan review hasil penelitian yang telah dilakukan PT Edwar Teknologi paling lama 30 hari kerja terhitung tanggal 2 Desember 2015, mencakup: evaluasi penelitian in vitro dan in vivo dan evaluasi kasus.
2. PT Edwar Technology tidak menerima klien baru sampai hasil evaluasi sebagaimana butir 1.
3. PT Edwar Technology dapat melakukan tindak lanjut (follow up) klien lama.
Baca juga: Kemenkes Sebut Ada 3 Kemungkinan Hasil Review Rompi Antikanker Dr Warsito
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Warsito sejak lama ingin mendaftarkan laboratorium risetnya sebagai klinik kanker. Namun niat ini terbentur sejumlah peraturan, salah satunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 28 tahun 2011.
Aturan ini hanya menyebutkan ada dua jenis klinik di Indonesia berdasar pelayanan yang diberikan, yaitu klinik pratama untuk pelayanan medik dasar dan klinik utama untuk pelayanan spesialistik. Klinik Dr Warsito tidak memenuhi syarat keduanya.
Hambatan serupa juga ditemui Warsito ketika ingin mendaftarkan kliniknya sebagai klinik alternatif atau pengobatan komplementer, sebab ECCT yang berupa rompi dan helm termasuk dalam kategori alat kesehatan berisiko tinggi dan membutuhkan uji klinis sebelum bisa digunakan. Padahal menurut Dr Warsito, alat buatannya tidak memiliki risiko tinggi.
![]() |
"Mungkin karena implikasinya terhadap kanker jadinya termasuk risiko tinggi. Padahal secara teknis alat saya termasuk kategori risiko rendah atau sedang, karena arus listriknya rendah sekali, cuma 15 volt, setara bohlam 15 watt," jelasnya.
Warsito juga meyakini bahwa alat pendeteksi dan pembasmi kanker yang diciptakannya tidak termasuk kategori alat kesehatan yang membutuhkan uji klinis. Ia membandingkannya dengan alat-alat kesehatan yang banyak dipasarkan sebagai terapi listrik, yang menurutnya juga tidak perlu melalui uji klinis.
Baca juga: Bergulir Petisi Agar Presiden Jokowi Mendukung Inovasi Rompi Antikanker
Di sisi lain, pria berumur 48 tahun itu juga gamang bila nantinya hasil review dari Kemenkes negatif, dalam artian dinilai tidak memenuhi kaidah-kaidah penelitian klinis. Selain karena ia enggan menghentikan risetnya, Warsito juga tak mau melanjutkan risetnya di luar negeri meskipun di luar negeri dana yang ia butuhkan untuk riset akan mengalir deras.
Dikatakan Warsito, saat ini sudah ada tiga negara yang serius memintanya melakukan penelitian terkait ECVT dan ECCT, yaitu Jerman, Jepang dan Singapura. Warsito tak rela karena dengan melanjutkan penelitian di luar negeri, nantinya ECVT dan ECCT akan diakui sebagai buatan negeri tersebut.
Namun apapun hasil review nantinya, Warsito telah menyatakan komitmennya untuk patuh. Fisikawan yang pernah mendapatkan Habibie Award ini siap menyerahkan kelanjutan penelitiannya ini ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes. (lll/up)














































