Seperti disampaikan oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Divisi Fetomaternal RSU Dr Soetomo Surabaya dan RS Pendidikan Universitas Airlangga, dr Khanisyah Erza Gumilar, SpOG, pemeriksaan darah memang dianjurkan, misalnya seperti tes TORCH, tes hepatitis B dan tes HIV/AIDS.
"TORCH menjadi pemeriksaan yang lazim dilakukan pada pasangan yang ingin merencanakan kehamilan. Deteksi dini kelainan dan penyakit dapat diterapi terlebih dahulu sebelum seorang wanita menjadi hamil," tutur dr Erza kepada detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Ingat! Susah Punya Anak, Masalah Utamanya Tak Melulu dari Pihak Istri
Selain pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, skrining rutin juga perlu dilakukan oleh wanita yang berisiko tinggi preeklampsia. Faktor risiko tersebut di antaranya memiliki riwayat keluarga dengan preeklampsia, jarak antar kehamilan lebih dari 10 tahun, hamil kembar dua, berusia 35 tahun ke atas saat hamil, serta memiliki indeks massa tubuh lebih dari 30.
"Kontrol rutin selama hamil dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi preeklampsia sekaligus deteksi dini preeklampsia," terang dr Erza.
Ia menegaskan, di Indonesia sebaiknya digalakkan 'proconceptional counseling', yakni konseling dan pemeriksaan kesehatan sebelum kehamilan. Ini supaya masing-masing pasangan bisa memahami risiko hamil itu sendiri, sekaligus memeriksa kondisi kesehatan sesuai dengan faktor risiko yang dimiliki.
Contoh beberapa kondisi yang membuat pasangan dianjurkan melakukan pemeriksaan sebelum hamil dan atau selama hamil:
1. Tes rhesus (pada perkawinan ras campuran, umumnya orang Indonesia memiliki rhesus yang berbeda dengan ras kulit putih)
2. Wanita dengan thalassemia
3. TORCH
4. HIV/AIDS dan Hepatitis B
5. Wanita dengan risiko tinggi preeklampsia
6. Wanita dengan usia >35 tahun
7. Wanita dengan penyakit jantung bawaan
Baca juga: Kondisi Ibu yang Seperti Ini Pengaruhi Bobot Bayi Saat Lahir
(ajg/up)











































