Prinsip itulah yang dipegang teguh oleh Kuss Hanifa. Nenek berusia 73 tahun ini sudah lebih dari 10 tahun mengidap diabetes melitus tipe 2.
"Pertama kali kena itu tahun 2000-an. Waktu itu rasanya badan nggak karuan gitu. Nggak enak akhirnya periksa ke dokter. Kata dokter ini gejala diabetes, akhirnya saya sudah mulai melakukan pengobatan," tutur wanita yang biasa dipanggil Ibu Kus ini, saat ditemui di Klinik Dokter Keluarga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (KDK-FKUI) Kayu Putih, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama menjalani pengobatan, memang sempat terlintas pikiran-pikiran negatif. Salah satunya adalah konsumsi obat yang dilakukan terus menerus seumur hidup.
Namun sejak berobat di KDK-FKUI Kayu Putih, ia merasa beban tersebut pelan-pelan terangkat. Apalagi ia juga aktif sebagai anggota klub senam Wanaseta, klub senam buatan pasien diabetes di KDK-FKUI Kayu Putih.
"Ikhlas aja sama penyakitnya. Jangan dipikirin nanti stres. Kalau stres nanti ambruk dan bahaya. Nah kita hindarin itu supaya nggak ambruk makanya kayak biasa aja," ungkapnya lagi.
Dikatakan Ibu Kus, pikiran positif membuatnya mampu menjalani pengobatan dengan lebih baik. Bahkan ia percaya bahwa ikhlas dan berpikir positif sama ampuhnya dengan obat dalam penanganan diabetes.
"Kalau ikhlas itu obat juga. Kalau iklas itu kan sugestinya jadi positif. Kita nanti ngerasanya kayak yang nggak punya penyakit aja," urainya lagi.
Terakhir, ia berpesan kepada masyarakat lain yang sudah memiliki faktor risiko diabetes untuk memeriksakan diri. Diabetes bukan halangan untuk tetap produktif dan bukan juga merupakan hal yang memalukan.
"Penting untuk cek. Jangan takut malah ketahuan penyakitnya. Kalau udah ketahuan malah bagus jadi bisa dicegah biar nggak komplikasi," pungkasnya.
Baca juga: Gula Darah Terjaga, Haruskah Pasien Diabetes Tetap Kontrol ke Dokter? (mrs/vit)











































