Secara umum, lupus dipahami sebagai sebuah penyakit autoimun, di mana terjadi kelainan pada sistem imun atau mekanisme kekebalan tubuh seseorang tidak bekerja dengan semestinya.
Menurut dr Cahya Dewi Satria, SpA, M.Kes., dari SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr Sardjito, secara epidemiologis, insidensi lupus pada anak mencapai 15-17 persen, rata-rata di atas usia 10 tahun dan lebih banyak terjadi pada anak atau remaja perempuan. "Anak laki-laki ada, tetapi prognosisnya lebih buruk biasanya," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, ia merasa perlu diadakan berbagai workshop dan pelatihan untuk tenaga medis di tingkat primer seperti puskesmas terkait lupus. Sebab dokter pun sering kecolongan dengan manifestasinya yang bisa sangat beragam.
Lantas apa yang membedakan lupus pada anak dan orang dewasa? dr Cahya mengungkapkan, manifestasi lupus pada anak sebenarnya sebagian besar sama dengan pasien lupus dewasa. Selain itu, sama-sama bersifat episodik atau 'timbul tenggelam' dan dapat mengenai semua sistem organ. Inilah yang membuatnya sulit diprediksi.
"Kebanyakan kasus rumit, lupus itu awal-awal kalau dirawat di bangsal infeksi sudah tidak ketemu infeksinya apa, keganasan tidak ketemu. Baru kemudian kita cek gejala sistemiknya," tandasnya saat ditemui dalam acara peringatan Hari Lupus Sedunia 2016 di Gedung Diklat RS Dr Sardjito, Yogyakarta, Selasa (10/5/2016).
Baca juga: 97 Persen Penyandang Lupus di Indonesia adalah Wanita
Gejala sistemik ini di antaranya munculnya malar rash (ruam di wajah), penurunan berat badan yang cukup signifikan dan alopesia atau kerontokan rambut. Bisa juga kelelahan, demam berkepanjangan, hingga gangguan pada ginjal.
"Biasanya kita tanya apakah setiap bangun pagi rambutnya banyak yang rontok, lalu ada juga yang mengeluhkan radang sendi, butterfly appearance (ruam di pipi), gangguan mood, dan kulitnya terlalu sensitif pada sinar matahari. Ini kuncinya," paparnya.
Ditambahkan dr Ayu Paramaiswari, SpPD-KR dari Poli Reumatologi/Geriatri RSUP Dr Sardjito, gejalanya bahkan tidak selalu malar rash, tetapi tergantung pada organ yang diserang. Semisal bila panas berkepanjangan, maka pasien seringkali dikira terserang tipus.
"Kalau yang kena paru-parunya, ya kadang batuk gak sembuh-sembuh. Atau kalau terjadi immunodeficiency, dikira HIV," paparnya dalam kesempatan terpisah.
Tak jarang, pasien memperlihatkan gejala gangguan mental misal marah-marah seperti orang gila atau ada kecenderungan bunuh diri yang tinggi.
Meski demikian, manifestasi lupus pada satu pasien dengan lainnya tidak dapat dipukul rata. "Saya pernah menemui pasien laki-laki yang datang dengan kejang. Kulitnya tidak ada apa-apa. Setelah dirawat satu bulan di PICU, baru ketahuan lupus," kisah dr Cahya.
Di sisi lain, perbedaan manifestasi ini dirasa dr Cahya juga penting karena ikut menentukan terapi pengobatan apa yang tepat untuk si pasien. Semisal jika pasien mengalami gangguan kulit sebagai komplikasi, maka harus disertakan obat topikal atau vitamin, atau bilamana pasien mengalami radang sendi atau bahkan arthritis, maka pemberian obat juga harus disertai dengan fisioterapi.
Baca juga: Lupus Bukan Penyakit Keturunan (lll/vit)











































