Aditya Wardhana, relawan koalisi obat murah sekaligus pasien hepatitis C asal Indonesia, mengalami sendiri bagaimana sulitnya mendapatkan sofosbuvir. Tahun lalu, pria yang akrab disapa Edo ini rela terbang jauh-jauh ke India untuk mendatkan obat sofosbuvir versi generik.
"Yang ada pada JKN hanya obat versi lama yang efektifitasnya hanya 60-70 persen dengan harga yang lebih mahal yaitu 120 juta. Sofosbuvir dengan persentase kesembuhan 99 persen dan efek samping rendah jauh lebih murah, sekitar Rp 12 juta," tutur Edo yang juga aktif di Indonesia AIDS Coalition (IAC) ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Curhat Pasien Hepatitis C di Indonesia: Obat Mahal dan Peredaran Terbatas
Ayu yang positif hepatitis sejak tahun 2009 mengatakan jumlah virus atau virus load dalam tubuhnya berkurang drastis setelah menggunakan sofosbuvir. Hasil tes menunjukkan sofosbuvir memiliki reaksi lebih baik daripada obat yang ada sebelumnya, yakni pegylated interferon.
"Sebelumnya hasil tes virus load hepatitis C saya sampai 4.800.000. Namun 4 minggu mengonsumsi sofosbuvir, begitu dites lagi cuma ada 800-an. Tes fungsi hati saya juga jauh lebih baik daripada sebelumnya ketika menggunakan pegylated interferon," ungkap Ayu.
Baik Edo maupun Ayu berharap agar selain sofosbuvir bisa dimasukkan ke dalam JKN, pemerintah juga dapat memberikan perhatian lebih kepada penyakit hepatitis. Dengan sosialisasi yang baik dan efektif, diharapkan tidak hanya pasien hepatitis di kota-kota besar saja yang dapat sembuh, namun pasien hepatitis lain di daerah juga mendapat kesempatan yang sama.
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema Know Hepatitis - Act Now. Tema ini diambil untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat demi mencapai target eliminasi hepatitis di tahun 2030.
"Bertepatan dengan Hari Hepatitis Sedunia, WHO meluncurkan kampanye #NoHep sebagai bagian dari tema Know Hepatitis - Act Now. Harapannya tema ini dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan targetnya pada tahun 2030 penyakit hepatitis sudah bisa dieliminasi," tulis WHO dalam situs resminya. (mrs/vit)











































