Fakta ini terungkap lewat pengamatan yang dilakukan peneliti dari Pennsylvania State University terhadap nenek moyang manusia di zaman prasejarah.
Peneliti sepakat jika api memegang peranan penting dalam kehidupan manusia purba seperti Neandertals, nenek moyang orang Eropa dan sebagian Amerika. Dengan adanya api, mereka bisa menghangatkan diri di dalam gua, tetapi juga mengolah makanan menjadi lebih beragam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian peneliti membandingkan susunan genetik dari 9 manusia modern, satu lainnya berasal dari 45.000 tahun lalu, tiga Neanderthal dan satu jenis manusia purba misterius dari Siberia yang disebut Denisovans. Terkait dengan paparan api dan hasil pembakarannya pada keempat jenis manusia tersebut, peneliti menemukan fakta menarik.
Jadi, saat bahan-bahan organik seperti daging atau kayu dibakar, maka akan menghasilkan semacam racun yang disebut polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). PAH dikenal mampu memutasi DNA dan memicu kanker. Tetapi tubuh punya mekanisme untuk melawan racun ini.
Begitu masuk ke dalam tubuh, keberadaan PAH dapat mendorong reseptor tertentu agar memproduksi enzim yang dapat memecah dan mengeluarkan racun tadi dari dalam tubuh.
"Tetapi kalau racun yang terhirup terlalu banyak, seperti halnya ketika kita berada dalam gua yang berasap, produksi enzim tadi menjadi berlebih, yang pada akhirnya menghasilkan produk sampingan yang sebenarnya juga berupa racun," terang peneliti utama, Gary Perdew seperti dikutip dari news.psu.edu, Kamis (4/8/2016).
Baca juga: Perokok Pasif Lebih Berisiko Terserang Kanker Paru? Ini Penjelasan Pakar
Akan tetapi ketika peneliti mengamati susunan genetik manusia modern, rupanya terjadi mutasi genetik yang meningkatkan toleransi mereka terhadap racun-racun yang ada dalam asap. Mutasi pada reseptor gen ini terjadi di tengah-tengah area otak yang disebut 'ligand-binding domain'.
"Mutasi ini nampaknya memperlambat produksi enzim tadi hingga membatasi risiko dari keracunan asap," papar Perdew seperti dilaporkan The Guardian.
Perdew menduga inilah salah satu penyebab atau setidaknya berkontribusi terhadap punahnya Neanderthal, karena mereka tidak memiliki mutasi genetik tersebut, padahal mungkin paparan asap mereka jauh lebih banyak karena tinggal di gua yang pengap dan menggunakan api hampir setiap waktu.
Sisi negatifnya, manusia menjadi lebih mudah memberikan toleransinya ketika berada dekat dengan perokok, atau bahkan cenderung membiarkannya, alih-alih bereaksi seakan-akan itu adalah tanda bahaya.
Akibatnya, manusia modern cenderung lebih berisiko terhadap kanker dan penyakit kronis lain karena polusi udara, salah satunya yang disumbangkan oleh asap rokok. "Bahkan toleransi ini membuat kita ikut-ikutan punya kebiasaan buruk, yaitu merokok itu sendiri," keluhnya.
Baca juga: Dokter Paru: Kesadaran Berhenti Merokok di Masyarakat Masih Rendah (lll/vit)











































