Wulan Ayu Ramadhani, M. Psi, psikolog dari Klinik Rumah Hati menuturkan orang yang peka, biasanya lebih mudah memasukkan ucapan apapun ke dalam hati. Tak hanya ucapan atau perilaku tidak menyenangkan, yang menyenangkan pun akan mudah dimasukkan ke dalam hati. Namun perasaan di-bully atau tidak, tak hanya bergantung pada peka atau tidaknya seseorang.
"Melainkan bergantung juga pada pengenalan diri serta kepercayaan terhadap dirinya sendiri," tutur Wulan dalam perbincangan dengan detikHealth.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Cyber Bullying Kadang Bisa Dipicu si Anak Sendiri
Wulan menjelaskan setiap perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kelompok yang dianggap lemah dengan tujuan menyakiti sebenarnya sudah dianggap sebagai bullying. Jadi karakteristik bullying adalah menyakiti korban. Nah, perilaku ini dilakukan berulang-ulang.
Dalam kasus-kasus bullying selalu ada hubungan yang tidak seimbang, di mana ada yang dianggap lebih dominan dan ada yang dianggap lemah.
"Terlepas dari apakah seorang tersebut sensitif atau tidak sensitif, tidak lantas membuat perilaku bullying tersebut bisa terjadi. Jika ia memiliki regulasi emosi yang baik, maka ia dapat memilih bagaimana ia harus berespons terhadap perilaku bullying tersebut. Misalnya, menegur dengan halus atau mengabaikan perilaku bullying tersebut," papar Wulan.
"Bullying bisa saja terjadi, namun bagaimana kita bereaksi terhadap hal tersebut bisa memiliki efek yang berbeda," imbuhnya.
Baca juga: Hati-hati, Memberi Nama Julukan yang Buruk Bisa Jadi Bullying
(vit/up)











































