Di NTT, Paroki Pegang Peran Penting dalam Vaksinasi Rabies

Di NTT, Paroki Pegang Peran Penting dalam Vaksinasi Rabies

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Rabu, 31 Agu 2016 10:04 WIB
Di NTT, Paroki Pegang Peran Penting dalam Vaksinasi Rabies
Foto ilustrasi: Grandyos Zafna
Jakarta - Kedekatan anjing dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusa Tenggara Timur berpengaruh kuat dalam menentukan sukses tidaknya upaya vaksinasi untuk menurunkan jumlah kasus rabies di wilayah ini.

Akibatnya, ketika ada upaya untuk mengurangi jumlah kasus rabies dengan vaksinasi juga tidak selalu disambut gembira. Hingga kemudian pihak lain dilibatkan, yaitu paroki atau gereja.

Tak lain karena sebagian besar masyarakat Flores dan Lembata merupakan penganut agama Katolik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini menjadi modal sosial karena kuatnya pengaruh lembaga keagamaan di masyarakat kami," ungkap Danny Suhadi, Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT dalam Lokakarya Evaluasi dan Keberlanjutan Program Pengendalian Rabies di Pulau Flores dan Lembata, di La Prima Hotel, Labuan Bajo, Selasa (30/8/2016).

Danny juga bersyukur karena paroki ikut menyambut baik upaya ini. Bahkan keterlibatan gereja dalam menyadarkan pentingnya vaksinasi pada anjing dirasa lebih besar ketimbang petugas di lapangan.

Kampanye dilakukan langsung oleh romo saat misa atau melalui warta paroki. "Paroki juga berperan dalam mendaftar desa yang menolak vaksin semisal karena takut anjingnya mati, romonya turun langsung untuk sosialisasi," timpal drh Andri Jatikusumah dari FAO dalam kesempatan terpisah.

Bahkan jadwal vaksinasi anjing di Flores dan Lembata pun ditentukan oleh paroki. Selain itu mereka juga memegang serta mengumpulkan data kepemilikan hewan, dengan begitu ketika jadwal vaksinasi tiba, paroki tinggal mengingatkan dan masyarakat tentu sulit menolak ajakan dari paroki.

"Kalau di Bali pendekatannya lewat banjar, sedangkan di Flores adalah paroki," imbuh Andri.

Baca juga: Begini Tantangan Mengendalikan Rabies di Nusa Tenggara Timur

drh Muhammad Syibli, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hewan Kementerian Pertanian menambahkan penggunaan pendekatan ini memang lebih mudah ketimbang metode sosialisasi pada umumnya.

"Di tahun 2016, yang meninggal hampir 200 orang. Dibandingkan kecelakaan (di jalan raya, red), angka ini boleh saja dianggap kecil. Persoalannya rabies disebarkan oleh yang sehari-hari menjadi teman kita," katanya.

Ketika kemudian angka kasusnya dibiarkan terus meningkat, ini berarti menjadi semacam 'penyakit sosial dan budaya' bagi masyarakat Flores dan Lembata, terkait kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan anjing peliharaannya.

Namun dengan keterlibatan paroki, Syibli mengaku lega karena berdampak langsung pada penurunan kasus rabies, baik pada hewan dan manusia dengan menaikkan cakupan vaksinasi hingga mencapai lebih dari 90 persen.

"Ada juga pilot project di sekolah, yaitu UKS dan dokter hewan cilik di Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Ini karena di daerah tersebut anjing dipakai berburu, dan menjadi aset kalau anjing ini sudah pandai berburu hingga harganya setara dengan mobil," urainya.

Hal senada juga diutarakan Dr James McGrane, team leader dari FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia. "Ini adalah contoh yang baik di mana para pemimpin agama di daerah dapat berperan," katanya.

Ia juga berharap apa yang dilakukan Flores dapat ditiru oleh daerah lain di Indonesia sehingga berkontribusi terhadap pengembangan kerangka kerja global untuk pengendalian dan pemberantasan rabies.

"Saya kira ini penting karena rabies termasuk 5 penyakit prioritas di Indonesia," tutupnya.

Baca juga: Ada KLB Rabies di Kalbar, Kemenkes akan Berikan Vaksin (lll/vit)

Berita Terkait