Golden standard atau standar utama dalam menentukan diagnosis rabies adalah metode yang disebut FAT (Fluorescence Antibody Techniques). Metode ini sangat akurat, namun alatnya sendiri berharga mahal, yaitu berkisar Rp 200 juta.
Kalaupun ada, laboratorium terdekat dengan FAT berada di Kupang, atau Balai Besar Veteriner Bali. Keduanya hanya bisa ditempuh lewat jalur laut dan udara saja, dengan lama perjalanan bisa mencapai lebih dari satu jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam program ini, tidak hanya dilakukan vaksinasi massal di daerah dengan risiko rabies tinggi maupun rendah, tetapi juga peningkatan fasilitas.
"Kita perkenalkan alternatif tes yang lebih sederhana dan cepat, disebutnya RIAD Test. Tes ini sudah bisa dilakukan di laboratorium tipe C yang ada di lima kabupaten: Manggarai Barat, Manggarai, Ende, Ngada dan Flores Timur," ungkap drh Andri Jatikusumah, National Technical Advisor untuk One Health dan Zoonosis Control, FAO ECTAD Indonesia.
Hal ini diungkapkannya di sela-sela lokakarya Evaluasi dan Keberlanjutan Program Pengendalian Rabies di Pulau Flores dan Lembata, di La Prima Hotel, Labuan Bajo, Selasa (30/8/2016).
Baca juga: Dari Coolbox hingga Kurangnya SDM, Penghambat Kendali Rabies di Flores
"Mikroskop fluorescence itu harganya mencapai Rp 200 juta. Conjugate-nya pun susah diperoleh," timpal drh Muhammad Syibli, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hewan Kementerian Pertanian.
Sedangkan RIAD atau Reaction Immunoperoxidase Antigen Detection hanya membutuhkan mikroskop biasa untuk melakukan pengetesan pada sampel darah orang yang baru saja tergigit anjing suspek rabies.
"Pemeriksaan dengan metode ini bahkan dapat dilakukan sampai tingkat kabupaten. Jadi setiap ada kasus gigitan, bisa segera ditangani dan memutus mata rantai yang panjang tadi," tegas Syibli.
Hasilnya pun akan keluar dalam jangka waktu kurang dari lima jam. Di sisi lain, pelatihan dan peningkatan kapasitas vaksinator dan tenaga pendukung lainnya juga diberikan oleh FAO dan WAP.
"Sekarang sudah ada 300 vaksinator yang tersebar di 1.300an desa di 9 kabupaten, belum termasuk tenaga lapangan lepas dan tenaga dari puskesmas. Mereka juga tidak hanya terlatih dari aspek teknis saja tapi juga komunikasinya, sehingga ini diharapkan bisa berkelanjutan," papar Danny Suhadi, Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT.
Dr James McGrane, team leader dari FAO ECTAD Indonesia menambahkan, selain 60-90 coolbox untuk memudahkan distribusi vaksin, pihaknya juga memberikan 10 kulkas berspesifikasi tinggi yang dapat menyimpan vaksin dalam waktu panjang.
"Termasuk tambahan stabilitator untuk pendinginnya, dan telah diakui kualitasnya oleh WHO dan Kementerian Kesehatan RI," tutupnya.
Baca juga: Di NTT, Paroki Pegang Peran Penting dalam Vaksinasi Rabies (lll/vit)











































