Lalu, adakah bedanya hasil penelitian di Indonesia dengan di negara-negara lain? Prof Adi Utarini, peneliti utama EDP dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan beberapa negara tidak memiliki hasil kesuksesan yang sama seperti di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Vietnam yang menggunakan strain wolbachia yang berbeda.
"Karena strain Wolbachia yang digunakan di Vietnam berbeda dengan Indonesia, nyamuk ber-Wolbachianya kalah dari nyamuk lokal. Jadi ketika diteliti lagi, nyamuk ber-wolbachia yang dilepas itu hilang sama sekali karena proses kawin silang tidak berjalan maksimal," tutur wanita yang akrab disapa Prof Uut tersebut, dalam temu media di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2016) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada juga terjadi di Brasil. Brasil menggunakan strain bakteri wolbachia yang sama seperti di Indonesia. Namun disebutkan Prof Uut, prosedur pelepasan nyamuk tidak berjalan dengan baik. Nyamuk di Brasil juga memiliki tingkat resistensi bakteri wolbachia yang tinggi sehingga proses kawin silang juga tidak berjalan maksimal.
Sebenarnya bakteri wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat dalam 60 persen jenis serangga, termasuk kupu-kupu, lebah dan lalat buah. Bakteri ini tidak terdapat di nyamuk Aedes aegypti, vektor penular DBD terbesar.
Penelitian EDP menyuntikkan bakteri Wolbachia ke dalam nyamuk, dengan harapan bakteri ini mampu menekan perkembangan virus dengue sehingga angka kasus DBD mengalami penurunan. Hasil sementara dari penelitian di Bantul dan Sleman menunjukkan adanya peningkatan nyamuk ber-Wolbachia di populasi nyamuk lokal.
"Jadi kita kawin silangkan nyamuk ber-Wolbachia ini dengan nyamuk lokal sebelum dilepas. Hasil di Sleman dan Bantu, 80-85 persen nyamuknya sudah memiliki bakteri Wolbachia," tandasnya lagi.
Selain menekan kasus DBD, Prof Uut menyebut nyamuk ber-Wolbachia juga dapat menghambat perkembangan virus Zika dan Chikungunya. Salah satu alasannya adalah virus-virus tersebut masih satu keluarga, yakni flavavirus. Selain itu, bisa jadi hal ini juga dikarenakan virus-virus tersebut berada dalam nyamuk yang sama.
"Kita fokus DBD dulu karena bebannya lebih tinggi DBD di Indonesia daripada Zika. Nah, Chikungunya dan Zika ini sekalianlah karena nyamuknya kan sama, jadi satu paket" tutupnya.
Baca juga: Di Laboratorium Inilah Nyamuk Ber-Wolbachia yang Dilepas di Sleman Diciptakan
(mrs/up)











































