6 Langkah Basmi Stigma Pada Pasien Gangguan Jiwa

6 Langkah Basmi Stigma Pada Pasien Gangguan Jiwa

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Jumat, 09 Des 2016 09:05 WIB
6 Langkah Basmi Stigma Pada Pasien Gangguan Jiwa
Foto: ilustrasi/thinkstock
Jakarta - Stigma yang dirasakan oleh pasien gangguan jiwa bisa memperburuk keadaannya. Pasien gangguan jiwa bisa telat mendapat perawatan atau bahkan tidak mendapat perawatan sama sekali karena masih terkurung oleh stigma.

dr Andri, SpKJ dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera mengatakan oleh karena itu stigma harus dibasmi, mulai dari keluarga terdekat hingga lingkungan sekitar. Untuk menghilangkan stigma, yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan menerapkannya pada diri sendiri.

"Menghapus dan menghilangkan stigma memang tidak akan mudah, tapi dengan memulainya dari diri sendiri kita bisa memahami apa dan bagaimana gangguan jiwa memengaruhi seseorang," tutur dr Andri kepada detikHealth.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, apa saja yang bisa kita lakukan? Dijelaskan dr Andri ini dia 6 langkah untuk basmi stigma, mulai dari diri sendiri:

1. Jangan sebut orang gila

Foto: thinkstock
Dikatakan dr Andri, menyebut pasien gangguan jiwa dengan sebutan gila dan meledaknya dengan kata-kata seperti psycho ata parno sangat tidak dianjurkan.

"Jangan meledek dengan istilah gila lo, psycho lo atau parno karena itu sangat tidak tepat," ungkapnya.

Baca juga: Seseorang yang Tampak 'Normal', Belum Tentu Mentalnya Baik-baik Saja


2. Bukan keinginannya sendiri

Foto: thinkstock
Harus diingat bahwa orang yang memiliki gangguan jiwa bukan karena keinginan atau karena kesalahannya sendiri. Apalagi menyalahkan pasien gangguan jiwa dengan sebutan kurang beriman atau kurang bersyukur.

dr Andri mengatakan gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor dan bisa terjadi pada siapa saja."Bisa karena faktor biologis bawaan, faktor kepribadian, pola asuh atau lingkungannya," tuturnya lagi.

3. Tegas menolak stigma

Foto: thinkstock
Untuk mencegah stigma menyebar, kita pribadi juga harus berani menolak stigma, terutama jika dilakukan oleh orang-orang terdekat. Membiarkan mereka melakukan stigma sama saja dengan membiarkan diri kita ikut melakukan stigma.

"Jika ada teman atau kerabat yang berbicara kurang baik terhadap orang dengan masalah kejiwaan, katakan bahwa kita tidak setuju," ungkapnya.

4. Terlibat dalam dukungan

Foto: thinkstock
Cara lain untuk menghindari stigma adalah dengan terlibat langsung dalam grup atau kelompok dukungan gangguan jiwa. Ikut aktif membantu baik secara langsung maupun penyebaran informasi yang baik dan benar sudah sangat membantu.

"Kenali mereka lebih jauh. Dengan begitu kita bisa lebih memahami mereka dan berempati dengan mereka," tandas dokter berkacamata ini.

5. Gali informasi

Foto: thinkstock
Masalah kejiwaan dan gangguan jiwa tidak berbeda dengan gangguan dan masalah kesehatan fisik yang terjadi pada tubuh. Dua-duanya bisa dipelajari dan dipahami dengan menggali informasi yang tepat.

"Semakin paham kita terhadap masalah kejiwaan, akan semakin mengerti kita dan stigma juga akan semakin berkurang," paparnya.

6. Ajak pasien membuka diri

Foto: Thinkstock
dr Andri mengatakan jika ada sahabat, keluarga atau kerabat yang memiliki gangguan jiwa, jangan takut untuk membuka diri. Bicarakan bagaimana kondisi gangguan jiwa tidak memengaruhi kehidupan sehari-hari jika sudah mendapat penanganan dan pengobatan yang tepat.

"Jangan malu untuk berbicara. Gangguan jiwa ini bisa dikendalikan dan mampu untuk beraktivitas sehari-hari," tutupnya.

Halaman 2 dari 7
Dikatakan dr Andri, menyebut pasien gangguan jiwa dengan sebutan gila dan meledaknya dengan kata-kata seperti psycho ata parno sangat tidak dianjurkan.

"Jangan meledek dengan istilah gila lo, psycho lo atau parno karena itu sangat tidak tepat," ungkapnya.

Baca juga: Seseorang yang Tampak 'Normal', Belum Tentu Mentalnya Baik-baik Saja


Harus diingat bahwa orang yang memiliki gangguan jiwa bukan karena keinginan atau karena kesalahannya sendiri. Apalagi menyalahkan pasien gangguan jiwa dengan sebutan kurang beriman atau kurang bersyukur.

dr Andri mengatakan gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor dan bisa terjadi pada siapa saja."Bisa karena faktor biologis bawaan, faktor kepribadian, pola asuh atau lingkungannya," tuturnya lagi.

Untuk mencegah stigma menyebar, kita pribadi juga harus berani menolak stigma, terutama jika dilakukan oleh orang-orang terdekat. Membiarkan mereka melakukan stigma sama saja dengan membiarkan diri kita ikut melakukan stigma.

"Jika ada teman atau kerabat yang berbicara kurang baik terhadap orang dengan masalah kejiwaan, katakan bahwa kita tidak setuju," ungkapnya.

Cara lain untuk menghindari stigma adalah dengan terlibat langsung dalam grup atau kelompok dukungan gangguan jiwa. Ikut aktif membantu baik secara langsung maupun penyebaran informasi yang baik dan benar sudah sangat membantu.

"Kenali mereka lebih jauh. Dengan begitu kita bisa lebih memahami mereka dan berempati dengan mereka," tandas dokter berkacamata ini.

Masalah kejiwaan dan gangguan jiwa tidak berbeda dengan gangguan dan masalah kesehatan fisik yang terjadi pada tubuh. Dua-duanya bisa dipelajari dan dipahami dengan menggali informasi yang tepat.

"Semakin paham kita terhadap masalah kejiwaan, akan semakin mengerti kita dan stigma juga akan semakin berkurang," paparnya.

dr Andri mengatakan jika ada sahabat, keluarga atau kerabat yang memiliki gangguan jiwa, jangan takut untuk membuka diri. Bicarakan bagaimana kondisi gangguan jiwa tidak memengaruhi kehidupan sehari-hari jika sudah mendapat penanganan dan pengobatan yang tepat.

"Jangan malu untuk berbicara. Gangguan jiwa ini bisa dikendalikan dan mampu untuk beraktivitas sehari-hari," tutupnya.

(mrs/vit)

Berita Terkait