Kepala Dinas Kesehatan Kulonprogo, Bambang Haryatno mengaku pihaknya menaruh kejanggalan pada sejumlah kasus penyakit kulit yang ditemukan di beberapa dusun di Desa Purwosari pada bulan Desember 2016 silam.
"Karena kita curiga dengan gejalanya, kita datangkan ahli penyakit kulit dari Sardjito (RSUP Dr Sardjito, red). Kemudian Januari awal hasil laboratoriumnya mengatakan ini antraks," terangnya kepada detikHealth, Kamis (19/1/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim dari Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Balai Besar Veteriner Wates juga mengambil sampel tanah di mana sapi tersebut disembelih. Dari hasil pemeriksaan, di tanah bekas tempat penyembelihan itu juga ditemukan spora bakteri antraks dalam jumlah besar.
"Ternyata beberapa bulan sebelumnya ada sapi atau kambing yang mati mendadak, ada 20-an, tapi kami tidak menduga ke sana," ucapnya,
Hal yang sama juga dikemukakan tim dokter penyakit kulit dari RSUP Dr Sardjito yang memeriksa gejala pada warga. Mereka tidak menduga kalau itu adalah manifestasi dari antraks.
"Karena di kami memang bukan endemik, jadi tidak pernah ada kasus, baru kali ini," tegasnya.
Selain itu, warga Kulonprogo memang diakui memiliki kebiasaan mengonsumsi daging sapi yang sakit kemudian mati. Diakui Bambang, kalaupun ada kasus penyakit akibat kebiasaan ini, rata-rata pemicunya bukan antraks.
"Dulu-dulu juga ada yang sakit, tapi dibawa ke puskesmas langsung sembuh. Belum ada yang sebanyak sekarang ini," tambahnya.
Baca juga: Kulonprogo dan Serangan Wabah Antraks yang Membingungkan
Namun untuk saat ini, Bambang belum mendapatkan laporan asal-muasal bakteri antraks yang ada di wilayah kerjanya karena sedang menunggu hasil investigasi dari Dinas Peternakan.
Ia mengaku juga terhambat oleh kurangnya pelaporan masyarakat. Di sisi lain, karena kurangnya pemahaman terhadap antraks, tidak ada warga yang mencurigai ternaknya terserang kondisi ini.
"Untuk itu saat kami mendatangkan ahli penyakit antraks dari Solo untuk memberikan pembekalan kepada temen-temen dokter di puskesmas dan rumah sakit," ungkapnya.
Bambang juga meminta dilakukan pengamatan secara terus-menerus pada daerah di mana ditemukan kasus, yaitu di sekitaran Desa Purwosari, di samping penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya antraks dan aktivitas yang berkaitan dengan faktor risikonya seperti mengonsumsi daging ternak yang terindikasi antraks.
Menanggapi hal ini, dr Ludhang Pradipta Rizki, M.Biotech, SpMK dari Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, menuturkan, kasus antraks memang tidak begitu spesifik, sehingga menyulitkan identifikasi bila kemudian terjadi di daerah yang sebelumnya bukan endemis.
Namun ia meyakinkan bahwa di Indonesia, setiap petugas kesehatan sudah dilatih untuk menangani. Pemerintah juga menjamin ketersediaan obat untuk antraks, terutama di daerah endemis antraks.
"Seyogyanya pemerintah juga memberikan pelatihan surveillance dan diagnosis klinis di luar daerah endemis sehingga kejadian infeksi antraks seperti ini bisa ditegakkan sejak awal," sarannya.
Simak juga video tentang Antraks berikut ini:
Baca juga: Di Era Pasar Bebas ASEAN, Waspadai Penularan Penyakit Zoonotik (lll/vit)











































