Salah satu pasien di RS Wa Banti, Banti, Tembagapura bernama Martina Wamang terkena TB di tahun 2007. Di tahun 2008, dia selesai menjalani pengobatan. Meski mengidap TB, Martina yang sehari-harinya menjadi ibu rumah tangga ini tak malu. Bahkan, ia selalu menjadi motivator untuk pasien lainnya agar patuh minum obat. Bisa dikatakan, Martina menjadi salah satu role model bagi pasien lainnya, sampai saat ini.
"Dulu saya minum obat tiap jam 8 pagi dan 8 malam. Dulu gejalanya sesak napas saja. Saya tinggal di Honai yang dihuni 10 orang. Suka buat api unggun juga untuk menghangatkan diri dan juga masak," kata Martina yang berdomisili di desa Kembeli ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lain Martina, lain pula cerita Nermina Wenda. Berawal dari batuk dan sesak napas, Nermina diketahui mengidap TB tahun lalu. Sampai saat ini, Nermina masih minum obat. Hanya saja, ada perubahan dalam kesehariannya setelah terkena TB.
Baca juga: Edukasi Berlapis Bisa Jadi Upaya Agar Pasien TB Tak Drop Out
"Dulu tinggal di Honai, tapi sekarang sudah di kamar," ujar ibu satu anak ini.
Kepatuhan minum obat memang menjadi kunci keberhasilan pengobatan TB. Di Banti dan sekitarnya, kader TB dan HIV berperan penting dalam hal ini. Nah, salah satu kader bernama Upe Magae mengatakan memang tak mudah menyadarkan pasien untuk patuh minum obat. Hal itu tak lepas dari khawatir akan adanya stigma. Sebab, ketika seseorang minum obat, dia khawatir akan ketahuan sakit TB. Sehari-hari, Upe menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk 15 pasien.
"Saya tiap hari mengingatkan mereka minum obat. Kadang ada yang disuruh ke RS ambil obat tapi nggak mau. Akhinya saya kasih tahu saja. Kalau masih nggak mau juga, ya saya paksa," tutur Upe yang sudah menjadi kader TB dan HIV sejak tahun 2016. Lantas, mengapa Upe mau menjadi kader?
"Saya mau teman-teman bisa berobat, bisa sehat. Kebetulan di keluarga, adik saya ada yang kena TB," ujarnya.
Dalam kesempatan sama, dokter kesehatan masyarakat di RS Wa Banti, dr Milka Tiandra, MPH mengatakan memang kadang cara galak seperti memaksa pasien minum obat menjadi cara agar pasien yang 'bandel' mau minum obat. Diungkapkan dr Milka, angka Drop Out (DO) pengobatan TB memang mengalami penurunan. Angka kesembuhan pasien TB di RS Wa Banti tahun 2014 dan 2016 pun mencapai 100 persen dengan jumlah kasus 5 dan 8. Sejak tahun 2013-2017, angka DO pengobatan TB di RS Wa Banti nol.
"Memang yang bikin DO itu seringnya tanpa sepengetahuan kita, si pasien pindah, jadinya default. Dengan adanya kader, sangat membantu karena pasien yang mestinya follow-up tapi nggak follow-up, akhirnya diingatkan kader sehingga bisa tetap minum obat. Tiap bulan kami adakan pertemukan 2 sampai 3 kali dengan kader untuk mengetahui apa saja kendala di lapangan dan kita diskusikan solusinya," tutur dr Milka.
Baca juga: Waspadai TB Jika Batuk Tak Sembuh dalam 2 Pekan dan Bobot Turun
(rdn/vit)











































