Untuk level global, untuk saat ini saja diperkirakan terdapat 350 juta orang yang mengidap depresi. Dari hasil The World Mental Health Survey yang diselenggarakan di 17 negara baru-baru ini juga tercatat, 1 di antara 20 orang di dunia dilaporkan pernah mengalami episode depresi.
Hanya saja, adanya stigma di masyarakat masih dianggap sebagai penghalang utama penanganan atau perbaikan kesehatan jiwa. Seperti diutarakan dr Soetjipto, SpKJ(K), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) cabang Surabaya, dalam Seminar Media bertemakan Depresi: Yuk Curhat di RS Jiwa Menur Surabaya, Selasa (9/5/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemberian obat psikotropika itu juga stigma. Kalau ada pasien dikasih resep dengan obat psikotropika lalu datang ke apotek, apoteknya malah bertanya lho ini kok obatnya orang gila ya? Ini juga stigma," urainya.
Ditambahkan dr Eka Viora, SpKJ, masih banyaknya kasus pasung di daerah-daerah juga menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat tentang perlunya memperbaiki kesehatan jiwa.
"Padahal kalau sedari awal sudah didiagnosis dan diobati, maka kasusnya tidak akan sampai depresi berat sehingga perlu dipasung, misalkan," tegasnya dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Waduh! Baru 8 Persen Pasien Depresi di Indonesia yang Tertangani
Masalah kedua tidak jauh-jauh dari akses dan kurangnya jumlah psikiater di Indonesia. dr Eka yang juga Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) tersebut mengungkapkan, jumlah psikiater di Indonesia hanyalah sebanyak 987 orang.
"Bahkan tidak sampai 1.000 orang, dan 68 persen adanya di Pulau Jawa. Terbanyak di DKI, yaitu sekitar 200-an, kemudian tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, total 678 orang," paparnya.
Artinya, hanya 30 persen dokter spesialis kesehatan jiwa yang menangani masalah kesehatan jiwa di pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, yang tentu saja dirasa dr Eka sangat tidak memadai.
Belum lagi soal akses. dr Eka mencontohkan akses layanan kesehatan jiwa di Maluku di mana dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater hanya berada di ibukota, yaitu Ambon.
Sedangkan untuk mengirim psikiater ke pelosok atau ke pulau-pulau lain, ia mengaku hal ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Ini belum termasuk persoalan teknis lainnya. "Pernah ada kasus di Maluku. Dikirim satu tim dokter dan perawat dari rumah sakit jiwa naik kapal. Namun mereka justru terdampar sampai ke Papua Nugini dan baru ditemukan 15 hari kemudian," kisahnya.
Untuk itu dr Eka menekankan pentingnya menggeser layanan kesehatan jiwa ke layanan primer yang terdekat dengan masyarakat yaitu puskesmas. Akan tetapi ini pun masih terbentur pada kompetensi dokter di puskesmas.
"Tidak perlu (bisa mendiagnosis, red) depresi berat, tapi cukup yang ringan atau sedang saja," ujarnya.
Ia juga meyakini, karena kedekatan lokasi dengan masyarakat, petugas kesehatan di puskesmas bisa menemukan kasus kesehatan jiwa dengan mudah. Biasanya puskesmas hanya terbentur pada masalah tidak bisa memberikan penanganan dan ketersediaan obat psikotropika.
Baca juga: Mari Bicara Depresi: Kenali dan Pahami (lll/vit)











































