Resistensi pada nyamuk terjadi akibat paparan terus-menerus dalam penggunaan pestisida, seperti obat nyamuk atau fogging. Terutama jika menggunakan pestisida yang sama dalam jangka waktu yang cukup lama, dan hal ini dapat menyulitkan usaha pengendalian penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, contohnya demam berdarah dengue (DBD).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Behavioural resistance: nyamuk yang resisten dapat mendeteksi atau mengenali racun yang disemprotkan dan menghindarinya. Secara otomatis mereka akan menunjukkan habit baru dengan tidak akan mendekati area yang biasa disemprot atau mencari lokasi yang lebih dalam.
2. Penetration resistance: nyamuk dapat menyerap racun secara perlahan supaya melindungi mereka dari jenis-jenis insektisida lainnya.
3. Metabolic resistance: nyamuk yang resisten bisa menghancurkan racun lebih cepat dari tubuhnya. Mereka menggunakan sistem enzim internal untuk menghancurkannya.
4. Target-site resistance: saat insektisida termodifikasi secara genetik untuk mencegahnya mengikat nyamuk saat disemprotkan. Sehingga mengurangi efek eliminasi atau pestisida dari semprotan itu sendiri.
Untuk mengatasinya, Dr Horstmann menyarankan dua metode yakni metode rotasi dan metode mozaik yang termasuk dalam strategi insecticide resistance management (pengendalian resisten insektisida).
"Rotasi menggunakan insektisida yang berbeda. Mozaik menggunakan insektisida berbeda di tiap-tiap area. Supaya meningkatkan kemungkinan pencegahan dan menurunkan kemungkinan terjadinya resistensi," tuturnya.
"Umpamanya dia resisten terhadap golongan A, kemudian kita gunakan pestisida golongan B. Karena golongan A ini sudah tidak dipakai, maka suatu saat nyamuknya akan rentan lagi. Tidak akan resisten terus menerus," imbuh Dr Suwito, Subdit Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan RI, yang juga hadir dalam acara tersebut.











































