"Fogging sudah 25 tahun dilakukan sebagai kontrol Dengue di negara-negara ASEAN tapi angka kejadiannya tetap meningkat. Fogging membuat rasa aman yang palsu, orang senang aja karena sudah disemprot enggak ada nyamuk padahal yang mati nyamuk Culex, nyamuk got, Aedes aegypti-nya masih ada," tutur ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Profesor dr Saleha Sungkar, SpPar(K) beberapa waktu lalu.
Dr Suwito dari Sub Direktorat Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan RI menjelaskan bahwa fogging hanya dilakukan jika di suatu daerah ada kasus pengidap demam berdarah dengue (DBD) yang dikhawatirkan nyamuk penyebabnya akan kembali menularkan penyakit tersebut sehingga harus segera diberantas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seberapa efektif fogging, itu tergantung dari bagaimana pelaksanaannya, bagaimana penetrasinya di dalam rumah. Tapi umumnya memang tidak efektif, apalagi (fogging) hanya sementara saja. Asapnya akan berada selama beberapa hari, tapi nantinya generasi baru (nyamuk) akan datang kembali. Keefektifannya masih diperdebatkan, jujur saja," kata Dr Michael J. Bangs, Global Vector Control dan Public Health Advisor untuk International SOS.
Menurutnya, metode satu rumah satu jumantik yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan RI sudah cukup bagus sebagai metode memberantas nyamuk penyebab penyakit langsung dari sumbernya, yakni jentik nyamuk. Ketimbang dengan fogging yang hanya memberantas nyamuk dewasa saja.
"(Untuk) mencegah outbreak sehingga kita harus bereaksi. Karena banyak penularan sudah terjadi. Ini salah satu alasan mengapa kita sedang berusaha menemukan teknik baru, produk inovatif baru, kita tak perlu kembali lagi ke fogging, kita bisa temukan cara lain untuk mengendalikan, lebih penting lagi, mencegah nyamuk-nyamuk ini," pungkas Dr Michael.











































