Pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pemeriksaan dilakukan lewat semacam video call. Di depan kamera yang tertanam dalam komputer tablet, pasien mengembuskan napasnya dengan spirometer. Sedangkan di seberang sana, seorang dokter atau perawat mengevaluasi hasil pembacaan alat tersebut.
Implementasi secara nasional diharapkan terwujud pada 2019 pada pasien PPOK, atau dalam bahasa inggris disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Sedangkan untuk project berikutnya, Denmark akan mengembangkan sistem pemeriksaan jarak jauh serupa untuk penyakit jantung kronis.
Pemeriksaan jarak jauh, di satu sisi memudahkan pasien dengan penyakit kronis yang harus sering-sering memeriksakan kondisinya. Terlebih jika rumahnya jauh dari rumah sakit atau tempat praktik dokter yang menanganinya. Teknologi membuatnya jadi jauh lebih efisien.
Di sisi lain, interaksi dokter dan pasien merupakan interaksi personal yang tidak selalu bisa dilakukan lewat aplikasi. Direktur RS Jantung Harapan Kita, dr Iwan Dakota, SpJP(K), MARS, FACC, FESC menyebut 'sentuhan kemanusiaan' tetap dibutuhkan dalam pemeriksaan.
"Kedokteran itu art and science. Ada 'seni' yang nggak bisa sepenuhnya kita percayakan pada teknologi," kata dr Iwan.
Ketua umum PB Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), Prof Dr dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD juga memberikan catatan soal penggunaan teknologi untuk pemeriksaan jarak jauh. Meski mengakui bahwa teknologi semacam itu bisa memudahkan pasien, namun harus dipastikan sistem lainnya sudah cukup mendukung.
Prof Suastika mencontohkan, pasien diabetes seringkali membutuhkan penyesuaian dosis obat secara berkala. Kalaupun pemeriksaan jarak jauh bisa dilakukan, kadang-kadang pasien tetap kesulitan karena obat yang dibutuhkan ternyata sulit didapatkan.
"Di beberapa puskesmas obat diabetes hanya tersedia satu macam," tutur Prof Suastika.
Kristian Kidholm, pakar teknologi kesehatan dari Odense University Hospital mengakui bahwa yang dibutuhkan dalam mengembangkan teknologi pemeriksaan jarak jauh bukan sekadar perangkat. Perangkat atau device disebutnya hanya 20 persen, sedangkan sisanya 80 persen adalah sistem layanan kesehatan.
Dalam satu penelitian yang dilakukannya, sebuah aplikasi pemeriksaan jarak jauh untuk luka diabetes tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan pemeriksaan langsung, pada tingkat kesembuhan maupun risiko amputasi. Bahkan teramati tingkat mortalitas atau kematian yang lebih tinggi, meski tidak diketahui pasti bagaimana hal itu bisa terjadi karena penelitian tersebut didesain untuk mengungkapnya.
"Untuk penyakit dengan tingkat kematian tinggi, kita perlu hati-hati," kata Kristian.
Di Denmark, layanan kesehatan sudah sangat terintegrasi dengan sistem informasi. Tiap warga negara memiliki kartu kuning yang dipakai setiap kali mengakses layanan kesehatan. Di dalamnya, tersipan informasi yang sangat detail bahkan hingga rekam medis yang bersangkutan.
Tonton juga 'Wow! Kini Ada Bubuk Bir Instan di Denmark':