Menurut dr Andri, SpKJ, FAPM, dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera, para korban rentan untuk mengalami reaksi stres akut, yaitu kondisi kecemasan di mana seseorang mengalami kekhawatiran berlebih.
"Reaksi stres akut adalah suatu kondisi kecemasan di mana pasien mengalami suatu gejala kecemasan, kemudian mengalami kekhawatiran berlebihan, sikap awareness atau atau suatu sikap berjaga-jaga yang terlalu berlebihan atau disebut hypervigilance, itu biasanya terjadi pada saat reaksi stres akut," ujarnya kepada detikHealth, Sabtu (29/9/2018).
Lanjut dr Andri, reaksi stres akut ini sebenarnya bisa menghilang dengan sendirinya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan jika seseorang memiliki kondisi adaptasi yang cukup baik.
Namun, jika reaksi stres ini tidak hilang lebih dari satu bulan, maka dr Andri mengatakan para korban untuk mendapatkan terapi non-obat atau terapi non-farmakologi, salah satunya dengan tidak mengingat-ingat kejadian gempa atau tsunami yang telah terjadi.
"Mereka kita harapkan untuk bisa berelaksasi, kemudian menceritakan hal-hal baik yang terjadi di keluarganya, untuk sedikit banyak melupakan sejenak apa yang terjadi," anjurnya.
"Untuk anak-anak, kita bisa lakukan terapi bermain, kemudian mereka diajak untuk bersuka-cita lah setidaknya, walaupun kondisinya memang tidak memungkinkan tapi diharapkan tidak mengingat hal-hal yang terjadi," tutup dr Andri.
Terkait gempa dan tsunami di Sulawesi ini detikcom menggandeng KitaBisa dan Aksi Cepat Tanggap menggalang donasi untuk meringankan derita para korban. Silakan berdonasi melalui channel di bawah ini.
(wdw/up)