Fenomena ini ternyata bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan terkait kerja sistem saraf dan otak. Dokter ahli bedah saraf Roslan Yusni Hasan dari Satyanegara Brain and Spine Centre menjelaskan, otak manusia bekerja berdasar rasio dan emosi. Keduanya memiliki bagian yang sama besarnya dalam kehidupan manusia.
"Namun dalam kenyatannya, sekitar 90 persen keputusan kita berdasar emosi bukan rasio. Ini artinya kita lebih mudah menerima sesuatu yang memancing emosi, terlepas dari dari benar atau tidaknya informasi tersebut," kata dr Roslan atau yang kerap disapa dr Ryu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kecenderungan ini menyebabkan seseorang lebih sanggup menerima informasi yang sesuai keinginannya. Hal ini terjadi meski info tersebut tak bisa diterima rasio atau kurang sesuai dengan situasi terkini (relevan). Hasilnya, hoax tetap lebih mudah diterima masyarakat meski ajakan menghindari berita yang tidak benar terus bergaung.
Mudahnya menerima hoax juga menyebabkan pergesaran dalam melihat informasi. Menurut dr Ryu, berita tak lagi berfungsi mencari kebenaran (konfirmasi) namun sebagai pembenaran (afirmasi).
Kecenderungan masyarakat mudah menerima hoax sebenarnya dapat diubah. Namun perlu waktu lebih dari satu generasi. dr Ryu mengatakan, perlakuan yang diberikan adalah menekan berbagai informasi yang memancing emosi. Informasi yang beredar di masyarakat diganti dengan yang memancing kerja rasio untuk menilai kebenarannya.











































