Dikutip dari The Guardian, media sosial tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang disebut trolling. Tindakan ini adalah mengunggah komentar yang mengganggu, menghasut, dan memprovokasi pembaca secara online.
"Mengatasi trolling yang penting tegas dan inilah keuntungan berurusan di media sosial. Semua hal yang dinilai mengganggu bisa direkam untuk memudahkan deteksi dan pelacakan. Selain lapor pada pihak berwajib, cobalah untuk melepaskan diri dari pengaruh troll. Jangan sampai memenuhi harapannya untuk berbalas komen," kata profesor psikologi bisnis Tomas Chamorro-Premuzic dari University College London.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trolling terbentuk lewat komunikasi yang dimediasi teknologi informasi. Anonim, identitas sementara, dan palsu memungkinkan sesorang melepaskan kemarahan atau asal bicara pada orang lain. Tindakan ini tentunya tanpa mempertimbangkan perasaan lawan bicara, kasar, menerjang batasan moral, dan tidak beretika. Trolling kerap berhasil menampilkan sisi terburuk seseorang, yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal berkepribadian baik.
Perilaku trolling cenderung menampilkan karakter yang berbahaya yaitu tidak mampu membangun hubungan dengan lebih baik dan beradab. Troll juga cenderung sadis, dingin, tidak kenal takut, antisosial, dan manipulator impulsif. Menurut Chamorro-Premuzic, trolling bisa disebut sebagai perilaku sadis online yang sejalan dengan cyberbullying. Trolling harus disikapi dengan tegas, tanpa perlu mengganggu keseimbangan mental, psikologis, dan kehidupan setiap hari.











































