Dijelaskan oleh Dr Berry Juliandi, Msi, Sekretaris Jendral Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), membuat suatu berita kebohongan membutuhkan kreativitas. Sebab, orang tersebut sudah harus mampu menebak bagaimana reaksi yang akan ditampilkan orang-orang dari kabar tersebut.
"Itu perlu kreativitas, jadi kita seharusnya 'bangga' kalau ada orang yang pintar bikin hoaks, artinya dia kreatif, dia berpikir, dan dia harus menyerang belief atau kepercayaan orang lain dengan theory of mind'-nya," kata Dr Berry, ditemui dalam acara 'The Science Behind Hoax', Senin (18/2), di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'Theory of Mind' dijelaskan sebagai kemampuan untuk menerka kepercayaan, niat, dan pengetahuan orang lain. Nah, dengan memegang pengetahuan soal 'theory of mind' orang lain ini dan ditambahkan dengan inovasi, penerima informasi juga menjadi lebih tertarik dengan pesan yang disebarkan.
Sebagai contoh, orang yang menyebarkan hoaks pasti sudah berpikir bagaimana respon yang akan terjadi setelah pesan tersebut disebarkan. Mereka pun tentu harus memikirkan berbagai cara untuk membuat kebohongan informasi ini tidak terlihat dengan 'kreativitas-kreativitas' lainnya.
"Theory of mind itu kita lebih menebak ke pikiran orang lain, jadi misalnya saya mau bikin hoaks, saya harus mikir apa yang orang lain pikirkan. Misalnya saya mau menarget si A, saya mampe menebak apa kepercayaan yang orang tersebut pikirkan, apa nilai-nilai yang dianggap bagus dan ini yang jadi aksesori sehingga masuk amygdala dan dipercayai."
"Kita (manusia) sudah diberi perangkat untuk berdusta, dan semakin pintar seseorang, semakin banyak neuron di korteksnya, maka berbohongnya semakin baik karena berdusta itu butuh kreativitas yang baik," tandasnya.











































