Beberapa mahasiswa korban bentrokan yang dibawa ke UGD Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) mengalami histeris. Meskipun belakangan diketahui mereka histeris akibat gas air mata, menurut Linda Setiawati, M.Psi, psikolog dari Personal Growth, demo yang tiba-tiba ricuh dapat menyebabkan dampak traumatis, baik bagi korban maupun orang yang menyaksikan.
Pada tahap yang lebih parah, pada seseorang yang terpapar dengan peristiwa traumatis bisa saja mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD merupakan gangguan psikologis yang muncul akibat terpapar oleh kejadian traumatis, baik yang dialami secara langsung maupun yang disaksikan.
"Beda gelisah biasa dengan PTSD itu, kalau diagnosis PTSD dapat ditegakkan jika gejala-gejala terus bertahan dengan intensitas yang tinggi, berlangsung lebih dari 1 bulan sejak waktu peristiwa traumatis terjadi dan mempengaruhi individu dalam menjalankan fungsi sehari-hari seperti pekerjaan, sosial, dan lain-lain," jelas Linda.
Terdapat beberapa gejala yang dialami oleh individu dengan PTSD, sebagai berikut:
1. Terus-menerus terbayang memori peristiwa traumatis yang dialami (tidak bisa dikontrol).
2. Mengalami stres yang intens atau perubahan fisiologis ketika berhadapan dengan hal-hal yang bisa mengingatkan kembali pada peristiwa tersebut.
3. Menghindari segala hal yang bisa membuat mereka teringat memori tersebut.
4. Menjadi sangat cemas dan awas, serta adanya perubahan mood.
Menurut Linda, jika seseorang mengalami kegelisahan setelah ikut aksi unjuk rasa, tetapi tidak berlangsung sampai lebih dari 1 bulan dan kondisinya tidak mengganggu fungsi sehari-hari, maka tidak dapat disebut sebagai gejala PTSD.
"Individu perlu mencari bantuan tenaga profesional, seperti psikolog, ketika kondisi yang dialaminya sudah membuatnya merasa stres, tidak dapat mengatasinya sendiri ataupun setelah meminta bantuan orang terdekat, dan menyebabkan gangguan di kehidupan sehari-hari," pesan Linda.
(up/up)