Melihat kisah-kisah sejenis ini membuat banyak warganet yang berempati dengan menggunakan tagar ini di lini masa twitter. Namun, bagaimana jika orang yang menulis cerita sedih seperti itu adalah kerabat kita?
Menurut Anastasia Satriyo, Psikolog di TigaGenerasi, Brawijaya Clinic Kemang dan Klinik Perhati Pluit, mendengarkan ceritanya adalah kunci utama ketika kerabat kita dalam posisi terpuruk mental. Sebagai manusia kita perlu menjadi orang sekitar yang mendukung tanpa menghakimi kerabat kita sendiri.
Ahli psikologi terapan Personal Growth, Ghianina Yasira Armand, BSc Psychology, MSc Child Development, menambahkan ketika mendapati kerabat dekat mengalami kasus mental seperti ini sebaiknya tidak menyebarkan cerita sebelum menanyakannya kepada pihak yang bersangkutan, harus mengetahui dan menjaga privasi orang lain.
Menanggapi kisah layangan putus yang viral, Anastasia berpendapat bahwa banyak kasus kesehatan mental lainnya yang melibatkan sosok ibu, ini menjadi semakin buruk ketika si ibu tak memiliki keahlian atau pekerjaan dan hanya menyerah atas masalah yang dihadapi.
"Beruntungnya si ibu ini punya keahlian jadi dia bisa mengaktualisasikan diri sesuai skill dan keahliannya," pungkasnya ketika dihubungi detikcom.
(up/up)