Kisah Pengidap OCD Bangkit Melawan Siksaan Pikiran Negatif

True Story

Kisah Pengidap OCD Bangkit Melawan Siksaan Pikiran Negatif

Aisyah Kamaliah - detikHealth
Rabu, 15 Jan 2020 08:00 WIB
Kisah Pengidap OCD Bangkit Melawan Siksaan Pikiran Negatif
OCD tidak melulu soal cuci tangan dan merapikan barang-barang yang berantakan. (Foto: iStock)
Jakarta -

Namaku Aisyah dan aku pengidap masalah kejiwaan dan didiagnosis mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder) sebulan setelah ulang tahunku yang ke-23. Awalnya aku menerima sangat baik apa yang disampaikan oleh dokter, aku menerima pengobatan atas apa yang aku lakukan. Apalagi setelah browsing, kondisi ini dinyatakan sebagai hal yang umum.

Sampai akhirnya aku tersadar yang kuhadapi selanjutnya sangatlah berat dan menguras emosi.

Jika kamu bayangkan OCD adalah penyakit yang membuat pengidapnya takut kuman dan 'cinta' segala sesuatu yang terstruktur atau terorganisir, tidak, aku jauh dari kata itu. Aku dulu bahkan bisa berhari-hari tidak mandi karena kemalasanku -- serius, sumpah deh.

Terus bagaimana aku bisa terdiagnosis OCD? Bukannya OCD yang suka kebersihan itu ya? Eits ternyata belum tentu.

Aku menyadari selalu ada yang salah dariku di mana aku mengalami kecemasan untuk hal yang tak wajar. Misalnya aku merasa akan tersambar petir jika aku tidak menoleh sebanyak tiga kali ke arah kanan. Atau merasa percaya adikku akan mengalami kecelakaan karena aku tidak berhenti di anak tangga yang berangka ganjil.

Kakiku, tanganku, selalu tak berhenti memegang sesuatu berulang kali sampai merasa pas. Tak jarang aku mencolok dan mencabut charger laptop saat di kantor. Seringkali dalam hati aku menghitung angka-angka ganjil hingga perasaanku menjadi lebih tenang. Bayangan negatif dengan mudah terlintas di pikiranku. Tak jarang aku menangis karena lelah mengulangi ritual yang tak masuk di akal.

NEXT >> Ketakutan yang Tidak Rasional

Percaya atau tidak, bila saat pertama aku merasa lega menemukan diagnosis yang tepat dari kondisi yang selalu pertanyakan sejak kecil, justru selanjutnya yang terjadi adalah penolakan batin dari dalam diri.

'Tidak, aku tidak mengidap masalah kejiwaan,' ujarku dalam hati setiap kali membaca soal OCD. Kerap kali terjadi, aku merasa kesal ketika membaca soal orang yang menggunakan kata 'OCD' hanya karena tidak tahan melihat sesuatu yang tidak beraturan.

OCD lebih dari itu, dan OCD membuatmu merasa lelah hingga terkadang muncul pikiran bunuh diri.

"Apa yang kamu takutkan?" kata dokterku saat sesi konseling yang kesekian kalinya.

"Keluargaku dalam bahaya," sahutku sambil menghapus air mataku yang mengalir deras.

"Memangnya apa yang kamu takutkan?"

"Mungkin takdir?"

"Memangnya kamu ingin tahu apa yang Tuhan rencanakan?" tanya dokter dengan tatapan heran.

"Mungkin?" aku menjawab ragu-ragu.

"Apa yang akan kamu lakukan jika tahu besok kamu akan meninggal pukul 13.00 karena kecelakaan?"

"Menghabiskan waktu bersama keluargaku."

"Ya, tapi mereka tidak nyaman kamu selalu mendekati mereka pada hari itu. Lalu apa yang kamu lakukan? Mengajak pacarmu pergi? Tapi dia tidak bisa karena ibunya membutuhkannya."

"Eh..." aku mulai bingung harus menjawab apa.

"Jika itu terjadi kamu hanya akan merasa marah, kecewa, kesal, iya kan? Jangan ambil pekerjaan Tuhan. Lagi, mengapa orang zaman dulu bisa merasa tenang anaknya sudah sampai di sekolah meski belum ada smartphone?"

"Karena feeling?"

"Ya, betul. Satu lagi... 'kepercayaan'," ujar dokterku yang membuatku tersentak dan tersadar. Pikiran negatifku membuat rasa kepercayaanku memudar pada apapun itu termasuk juga pada takdir yang seharusnya kuimani.

NEXT >> Support Group

Selain ke profesional, proses penyembuhanku dan penerimaanku pada penyakit kejiwaan yang aku alami juga lebih baik karena aku bergabung dengan Komunitas Indonesia Bebas OCD. Banyak di antara mereka yang merasakan hal serupa denganku dan ada juga yang berbeda.

Aku juga baru mengetahui tipe OCD ada bermacam-macam. Ada yang takut jadi media perpindahan kuman sehingga harus mandi berjam-jam. Ada yang tak bisa berhenti mengetik, menghapus, lalu mengetik ulang lagi berulang kali sampai merasa puas. Ada pula yang tak bisa berhenti mengecek pintu, kompor, atau hal lainnya secara berulang kali. Pasien yang gemar menimbun barang atau hoarding pun ada.

"Tapi punya OCD juga ada kelebihannya," celoteh salah seorang pengidap OCD juga di group chat kami pada suatu hari.

"Apa tuh, Mas?" aku penasaran.

"Ya, misalnya checking. Kita jadi tahu bagaimana mencegah tindak kejahatan karena sudah mengantisipasi lewat pikiran kita. Kita jadi ahli soal tindakan kriminal karena semua ada di otak kita. Kita belajar terhindar dari ketakutan," jawabnya.

Setelah akhirnya 6 bulan berjalannya waktu, aku pun tersadar mental illness harus dihadapi dengan keberanian dan penerimaan diri. Selain itu, harus diimbangi dengan usaha untuk lekas pulih agar bisa berfungsi dengan baik lagi. Tiada lagi keinginan untuk mengakhiri hidup, kini aku ingin hidup yang lebih bermakna.

Siapapun kamu, bila kamu membaca ini dan mengalami masalah kesehatan mental, kamu bisa menghubungiku melalui Instagram @aisyahkamalia. Kita bisa berbagi cerita dan berusaha bangkit bersama-sama. Percayalah, kita bisa sembuh. Pasti.

Halaman 2 dari 3
(ask/up)

Berita Terkait