Pemerintah saat ini diharapkan dapat melakukan screening masif khsususnya bagi mereka yang pernah kontak langsung dengan pasien positif. Sayangnya hingga kini, tidak semua yang pernah kontak langsung dengan pasien positif atau sering disebut dengan ODP (orang dalam pemantauan), terlebih yang bergejala, mendapatkan tes swab atau pengambilan sampel dari nasofaring.
Di rumah sakit rujukan, kebanyakan ODP dicek terlebih dahulu kondisinya. Beberapa di antara ODP hanya disarankan untuk Medical Check Up dengan mengambil sampel darah dan rontgen paru.
"Dokter tahu betul, kan dokternya ahli semua, nanti tahu dari pemeriksaan darah, dari rontgen, nanti larinya ke mana, mereka tahu betul. Yakinlah dokternya hebat," kata juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, dr Achmad Yurianto, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, disebutkan oleh Ahmad Utomo, Principal Investigator di Stem Cell and Cancer Research Institute, jenis sampel yang digunakan bisa menghasilkan tingkat positivitas yang berbeda. Sampel darah disebut punya tingkat positivitas atau keakuratan yang minim dibandingkan sampel lainnya.
"Misalkan sampel darah, itu positivitasnya kecil sekali, cuma 1 dari 300. Tapi kalau ambil sampel dari bronkoskopi, itu paling tinggi 93 persen tapi ambilnya setengah mati, pasien harus dianastesi dan perlu keahlian khusus," katanya dalam diskusi yang digelar Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Memang pengetesan untuk virus saat ini yang relatif mudah dilakukan adalah tes swab atau nasofaring. Positivitasnya bisa mencapai sekitar 70 persen.
"Jadi ini menunjukkan bahwa sampling menentukan. Jadi biasanya saat pasien dirawat, nggak cuma sampling sekali tapi bisa berkali-kali," tutupnya.
(kna/up)











































