Lily Anderson dari Suffolk, Inggris, adalah pencinta buku sejati. Setiap hari ia selalu menghabiskan waktunya untuk membaca. Di usia 14 tahun, ia terkena Hodgkin Limforma dan pasca kemoterapi, Lily serta-merta kehilangan kemampuan membacanya. Kalimat-kalimat yang sama selalu ia baca berulang kali, namun Lily sangat kesulitan mengolah memori dan konsentrasinya.
Kabar gembira, Lily sekarang bebas dari kanker. Namun pengobatan kemoterapi, radioterapi dan transplantasi sel induk justru membuatnya harus kehilangan hobinya. Ia sangat terkejut ketika menyadari perawatan yang dijalani juga memengaruhi memorinya. Awalnya Lily hanya menyangka efek kemoterapi sekadar kerontokan rambut dan sakit biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari BBC, Senin (7/7/2014), Cancer Research UK menggambarkan gejala 'otak kemo' seperti melupakan hal-hal yang biasanya diingat, kesulitan memilih kata yang tepat, sulit mengikuti percakapan, sulit berkonsentrasi, perasaan kebingungan hingga penurunan kekuatan mental. Perubahan sering kali sangat ringan dan tidak terasa. Namun tentunya hal ini menurunkan kualitas hidup para pasien.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan sejumlah besar pasien kanker muda mengalami efek samping kemoterapi yang berkaitan dengan memori. Studi dari University of Manchester membandingkan memori pada orang dewasa yang telah melakukan kemoterapi.
Penelitian dilakukan terhadap 75 pasien kanker dengan rentang usia 16-50 tahun. Ternyata, lebih dari setengahnya mengalami penurunan kinerja pada kemampuan spasial. Lebih buruknya, seperempat orang memiliki memori verbal jangka panjang yang menurun setelah pengobatan.
"Sebetulnya, kemoterapi akan menambah beban fisik dan emosional bagi pasien kanker. Penelitian awal ini akan membantu kita mempelajari lebih lanjut bagaimana pengaruhnya terhadap memori pada remaja. Supaya mereka mendapat dukungan yang tepat," kata Helen Thompson dari Cancer Research UK.
"Konseling dapat membantu mengurangi masalah atau membantu mereka mengatasi hal ini. Strategi pelatihan kognitif dapat membantu meningkatkan kinerja memori mereka," kata Oana Lindner, penulis studi dari University of Manchester ini.
Lindner juga mengatakan bahwa selama prosedur kemoterapi harus dilakukan sesuatu terhadap otak pasien guna mencegah penurunan memori. Namun, sampai saat ini masih ditelaah bagaimana mekanisme 'otak kemo' bekerja dan apa penyebab kondisi ini. Penelitian dengan skala besar diperlukan untuk mengetahui seberapa lama efek ini bertahan serta dampak dari obat kemoterapi dan dosisnya. Faktor lain yang harus diperhitungkan, seperti dampak depresi, kelelahan pada fungsi kognitif pasien kanker, juga kualitas hidup selama dan setelah pengobatan.
Pemicu utama kondisi ini disebutkan dr Weaver seperti prosedur caesar darurat dan tidak terduga sebelumnya, terutama jika direkomendasikan oleh dokter yang biasa menangani si ibu. Pemberian anestesi dalam keadaan ibu sudah kesakitan pun bisa memicu trauma ini.
Selain itu, pemikiran ibu terkait proses kelahiran yang ideal juga bisa membuat trauma muncul setelah melahirkan. Pasalnya, apa yang dibayangkan ibu mungkin saja tidak sesuai dengan kenyataan yang ia alami.
Untuk menghindari trauma pasca melahirkan, dr Weaver menyarankan para wanita untuk membicarakan segala sesuatunya dengan tenaga medis dan keluarga terutama suami. Pendampingan keluarga pun dirasa dr Weaver sangat memegang peranan penting.
"Dengan kehadiran orang yang dipercayai ibu, akan menghindarinya dari perasaan terbuang, diacuhkan dan tidak diperhatikan. Dukungan dari keluarga sangat penting supaya ibu bisa menghadapi proses persalinan dengan lebih yakin dan percaya diri," imbuh presiden Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists ini.
(rdn/up)











































