Dalam kurun 2002-2010, Brian Tan hanya bisa makan satu kali dalam sehari. Sisanya, ia hanya minum obat batuk dan enam kaleng minuman soda. Beruntung Brian bisa disadarkan.
Semua berawal saat Brian masih berumur 18 tahun. Karena penasaran, ia pun mau meminum sebotol obat batuk isi 60 ml yang dibeli temannya seharga 6 dollar AS (Rp 70 ribu) di Geylang. Siapa sangka sejak saat itu, ia menjadi kecanduan pada obat batuk. "Saya kira karena semua klinik menjual obat batuk jadi itu tidaklah berbahaya," katanya seperti dikutip dari Asiaone, Sabtu (28/2/2015).
Baca juga: Izin Edar Dicabut, Per 30 Juni 2014 Dekstro Tunggal Jadi Obat Ilegal
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika ditanya bagaimana rasanya 'high' dengan obat batuk, Brian mengungkapkan, "Rasanya seperti melayang. 'High'-nya bisa bertahan 2-3 jam, setelah itu Anda merasa ngantuk dan malas."
Bila tidak sedang seperti ini, Brian akan menghabiskan waktunya untuk mencari klinik yang mau menjual obat batuk kepadanya. Brian memang mendapatkan sebagian besar obat batuknya dari klinik, meskipun klinik biasanya hanya mau menjual dua botol obat berisi isi 90 ml. Untuk itu di akhir pekan, Brian membeli obat batuk dari pasar gelap, yakni di Geylang.
Hingga suatu ketika, Brian menemukan seorang dokter yang mau menjual obat batuk 'bawah tangan' kepadanya. "Saya memang sering memeriksakan diri ke dokter ini. Ia bilang saya bisa mendapatkan dua botol lewat konter setelah konsultasi, namun dari lemari kerjanya, ia bisa mengeluarkan lima botol sekaligus yang dijual kepada saya," ujarnya.
Namun karena sering sakau, Brian kesulitan untuk mempertahankan satu pekerjaan. Pekerjaan yang paling lama ia lakoni adalah tukang masak, itu pun hanya bertahan selama 16 bulan. Hubungan dengan orang tua dan kedua adik perempuannya juga berantakan, karena Brian kesulitan untuk berhenti dari kecanduannya tersebut.
Brian memperkirakan dalam 8 tahun, ia telah menghabiskan 345 liter (120 ml perhari) obat batuk berisi codeine, atau 3.833 botol obat batuk ukuran 90 ml. Total Brian merogoh kocek hingga lebih dari 10.000 dollar AS (sekitar Rp 128 juta) untuk membeli ribuan obat batuk tersebut.
Beruntung Brian bisa disadarkan setelah mengalami gangguan pada punggung dan ginjalnya karena kecanduan tersebut. Menanggapi kasus ini, seorang dokter bernama Dr Khoo Yong Hak mengatakan konsumsi obat batuk secara berlebihan sangatlah berbahaya. "Minum 120 ml obat batuk sehari dalam satu bulan saja sudah dikatakan berlebihan, apalagi sampai 8 tahun. Dan jangan lupa, codeine itu opium dalam bentuk yang lebih ringan, jadi kalau digunakan dalam waktu lama, ini bisa merusak organ dan mengubah kondisi mental," terangnya.
Kasus Brian merupakan gambaran dari praktik jual beli obat batuk ilegal yang kerap ditemukan di Singapura. Sejak tahun 2012, otoritas Singapura berhasil menangkap enam dokter yang menjual codeine kepada sindikat atau pecandu. Kasus terburuk yang pernah mereka temukan adalah seorang dokter berumur 41 tahun yang meraup untung hingga 500.000 dollar AS (Rp 6,4 miliar) dalam kurun empat bulan saja karena menyuplai 3.500 liter obat batuk berisi codeine kepada tiga pasien.
Sedangkan yang baru-baru ini diputuskan kasusnya adalah seorang dokter bernama Ho Thong Cew (44). Selain didenda sebesar 60.000 dollar AS (Rp 771 juta), ia juga dibui selama 7,5 bulan dan dicabut izin praktiknya karena 12 kali dituduh menjual obat batuk secara grosir tanpa lisensi.
Codeine sendiri terdaftar sebagai obat Kelas B dalam Undang-undang Penyalahgunaan Obat, sehingga hanya dokter dan apoteker berlisensi saja yang bisa menjual obat batuk ini. Itupun setiap pasien hanya dibatasi maksimal 240 ml untuk sekali kunjungan. Namun anehnya, di pasar gelap Singapura seperti Geylang dan Chinatown, obat batuk berukuran 60 ml, 90 ml dan 120 ml dapat ditemukan dengan mudah.
Baca juga: Tekan Resistensi Obat, Dokter Diusulkan Dapat Bonus Jika Tak Resepkan Antibiotik
(lil/up)











































