Pada 2009 lalu, ia menjalani operasi tulang punggungnya di Good Samaritan Hospital in Suffern, New York. Sayangnya 24 jam setelah operasi, tekanan darah Patricia turun drastis dan ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Hal itu terjadi bukan tanpa alasan. Setelah dilakukan CT scan, ahli radiologi mengatakan bahwa ada perdarahan di kanal tulang belakangnya yang disebut dengan hematoma. Kondisi ini pun dianggap darurat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak kejadian itu, Patricia hanya duduk di kursi roda dengan kelumpuhannya. Namun keluarganya tidak tinggal diam. Pengacaranya, Evan Torgan menggugat kedua dokter itu ke pengadilan dengan dugaan malpraktik.
Dalam pengadilan, diagnosis stroke yang dilakukan kedua dokter tersebut ditolak hakim. Alhasil terungkap bahwa kelumpuhan yang diderita Patricia karena saat operasi ada tulang yang entah bagaimana patah dan tersangkut di selubung dekat sumsum tulang belakang. Tulang itu terperangkap dan menghancurkan bagian sumsum tulang belakang, secara permanen merusak beberapa serabut saraf.
"Ahli bedah yang melakukan operasi mengetahui bahwa ada yang rusak melalui monitor selama prosedur operasi. Namun mereka tidak memberitahu siapapun," kata Torgan dikutip dari DailyMail.
Karena itu, pengadilan akhirnya memutuskan kedua dokter bersalah dan memberikan ganti rugi kepada Patricia untuk biaya pengobatannya di masa depan.
(wdw/up)











































