Haryoto, Pria Dewasa Berseragam SMA

Ulasan Khas Ababil dan Gangguan Jiwa

Haryoto, Pria Dewasa Berseragam SMA

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Rabu, 24 Okt 2012 18:34 WIB
Haryoto, Pria Dewasa Berseragam SMA
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
Jakarta - Usianya tidak lagi muda, sekitar 40 tahun, namun hampir setiap hari seragam putih abu-abu selalu melekat di tubuhnya. Itulah penampilan Haryoto sehari-hari. Sekilas dia tampak normal seperti orang kebanyakan, namun ternyata dia mengalami gangguan kejiwaan.

Haryoto tingal di daerah Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Namanya dihafal benar oleh penghuni SMAN 1 Wonosari, kendati yang bersangkutan bukan bagian dari sekolah tersebut.

"Biasanya dia di depan kelas kita, nggambar-nggambar, gambarnya bagus lho," ujar seorang siswi di SMA tersebut, seperti ditulis pada Rabu (24/10/2012).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut siswi tersebut, Haryoto kerap disapa 'brother' oleh para siswa. Sapaan akrab yang menunjukkan bahwa kehadiran Haryoto diterima di lingkungan sekolah tersebut selama tidak mengganggu.

Seorang guru perempuan lantas mengantar detikHealth ke bagian lain sekolah. Hingga tibalah di persimpangan di mana terdapat anak tangga dan seorang pria yang sedang asyik memandangi bukunya.

Terpekur di tangga itu, Haryoto seperti tengah berupaya memahami buku yang dibawanya. Ia bahkan tak menyadari kehadiran detikHealth dan bu guru SMAN 1 Wonosari. Namun ketika melihat ada 'tamu' dia lantas mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Haryoto lantas menyebutkan namanya. Tak lama, obrolan pun digelar.

Dengan tangkas Haryoto menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Karena itu dia sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan.

"Naik kol (angkutan umum yang menggunakan Mitsubishi Colt), kadang naik sepeda. Rumah saya dekat kok Mbak," ujarnya saat ditanya bagaimana dia datang ke SMA tersebut.

Bahkan Haryoto juga sadar dirinya bukanlah siswa di sekolah itu. Hanya saja dia adalah orang yang sangat suka belajar, maka itu dia kerap datang ke sekolah tersebut.

"Kalau nggak baca buku saya suka pusing Mbak," ucapnya. Menurut Haryoto, badannya sakit semua jika hanya berdiam diri di rumah.

Tangan Haryoto tak lepas dari buku pelajaran Sejarah untuk kelas X. Dia menjelaskan buku itu dibelinya sendiri di toko sekitar Pasar Wonosari. Rupanya Sejarah adalah mata pelajaran favorit Haryoto selain Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Saking sukanya pada pelajaran Penjaskes, dia juga sering ikut olahraga bersama para siswa SMAN 1 Wonosari.

Haryoto lantas bertutur bahwa dirinya sangat menyukai kebudayaan Indonesia, terutama soal candi. Ia pun menjelaskan beberapa hal terkait candi.

"Kalau yang di atas masjid itu kan namanya mustaka, kalau stupa itu yang lancip (sambil menggambarkan bentuk seperti stupa di tembok), kalau relief itu yang begini (sambil melukiskan dua deret garis sejajar yang di tengahnya diberi semacam gambar di tembok)," terang Haryo.

"Relief yang di bawah itu menggambarkan kehidupan kasta Sudra. Sudra itu rakyat jelata Mbak. Kalau ksatria itu sebangsa prajurit, tentara. Brahmana itu kaya ulama," paparnya dengan antusias.

Jika saja pakaian yang dikenakannya bukan seragam SMA, mungkin akan banyak orang yang menyangka Haryoto adalah guru sejarah. Bagaimana tidak, rambutnya disisir klimis dibelah samping. Wajahnya berjenggot dan berkumis, sangat jauh dari kesan ABG.

Pembawaannya tenang dan tak banyak bicara. Tapi jika rasa penasarannya muncul, ia cenderung ceplas-ceplos dalam bertanya. Matanya pun tampak berbinar-binar menunjukkan antusiasme yang demikian besar.

Tapi Haryoto tetaplah Haryoto yang gemar berseragam SMA sederhana. Kemeja putihnya tidak bisa dibilang bersih, tapi juga tak bisa dikatakan lusuh. Seragam itu diperoleh Haryo dari salah satu guru di SMAN 1 Wonosari yang peduli padanya. Bahkan badge sekolah yang menempel di seragam tersebut merupakan hasil jahitan Haryo sendiri.

Haryo juga mengaku kagum pada sosok Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Sehingga dalam obrolan dengan detikHealth, Haryo pun sibuk mencecar pertanyaan tentang Gus Dur. "Gus Dur dari kecil sudah cacat gitu ya Mbak? Kok bisa jadi pembesar ya?" ucapnya polos.

Bahkan dia masih ingat saat Gus Dur menjadi Presiden RI. Kala itu Haryo masih duduk di bangku SMEA.

Gangguan Jiwa Sejak SMEA

Meski terlihat meyakinkan saat berbicara, namun ada beberapa hal yang disampaikan Haryo tidak valid. Misalnya saat dia menyebut rumah kakanya berada di Jombang, namun setelah detikHealth mengkroscek ternyata rumahnya berada di Lamongan.

Ibunda Haryoto, Martadinomo, tidak tahu persis apa penyebab gangguan kejiwaan yang dialami putranya. Apalagi sejak kecil, Haryoto selalu terlihat cerdas lantaran selalu bersemangat pergi sekolah.

"Dulu saya ya senang-senang saja Mbak, anak saya mau sekolah terus. Dari kecil ia paling semangat sekolah. Kakaknya saja cuma tamatan SMP," ucap ibu 4 anak ini dengan menggunakan bahasa Jawa halus. Hal itu disampaikan dia saat ditemui di kediamannya, Dusun Dunggubah, Desa Duwet, Wonosari, Gunung Kidul.

Menurut sang ibu, Haryoto mulai menunjukkan gejala gangguan kejiwaan ketika duduk di kelas 3 SMEA. Konon Haryoto ingin sekali masuk ke SMA, namun tidak mendapat restu orang tuanya. Apalagi SMK tempat Haryoto menuntut ilmu dulu berada tak jauh dari SMAN 1 Wonosari.

Kendati mengalami gangguan jiwa, selepas lulus SMA Haryoto mengaku sempat bekerja di usaha pembuatan pagar teralis di Kaliurang, Yogyakarta. Kakak ipar perempuannya, Asih, menyebut Haryoto terkadang berjualan ayam di pasar atau menjadi buruh pencari rumput dan merawat sapi yang diberikan orang tuanya.

Sebagian hasil jerih payah Haryo digunakan untuk membiayai keluarga. Bahkan dari keringatnya sendiri, Haryo bisa membelikan tongkat khusus untuk ibunya. Tongkat seharga Rp 140 ribu itu banyak membantu saat sang ibu berjalan karena kakinya cacat.

Orang tua sudah banyak berikhtiar agar Haryo bisa sembuh dari gangguan jiwanya. Misalnya saja Haryo sudah pernah dibawa ke beberapa 'orang pintar'. Tapi sayang, Haryo belum juga sembuh.

"Kalau dibawa ke dokter atau Puskesmas anaknya nggak mau. Katanya orang waras kok dibawa ke dokter jiwa. Dia juga malu," sambung Ibu Martadinomo.

Untunglah Haryo tidak pernah mengamuk. Jika ada sesuatu yang tidak berkenan dengan dirinya, haryo lebih memilih diam. Urusan makan pun Haryo tidak aneh-aneh. Apa saja yang dihidangkan ibunya, pasti dia makan.

Haryo adalah sosok dengan jiwa petualang yang tinggi. Pernah suatu kali dia bersepeda hingga ke Wonogiri. Untunglah Haryo tidak 'hilang' lantaran ada polisi yang berbaik hati merawat dan mengantarkannya pulang.

Untuk urusan ibadah, pria lajang itu tidak mengalami kendala yang berarti. Menurut salah seorang tetangga, Haryo terkadang suka mengumandangkan adzan di masjid. Saat mengaji, suaranya pun bagus. Bahkan di sebelah kandang sapinya, Haryo membangun gubuk kecil dari bambu yang sering dipergunakan untuk salat.

Dengan segala kesederhanaan keluarganya, Haryo dibebaskan untuk berekspresi. Keluarga tidak mengekang ataupun malu dengan kondisi pria itu. Kelak, jika Haryo bersedia dibawa berobat ke dokter, tentu keluarga dengan senang hati mendampinginya.

(vit/up)
Ulasan Khas Ababil dan Gangguan Jiwa
13 Konten
Masa remaja menjadi proses untuk mencari jati diri seseorang. Nah, bila salah arahan bisa jadi mereka mengalami gangguan pada jiwanya. Lebih lanjut, simak yuk ulasan khas ini.

Berita Terkait