Saat puasa, respons tiap orang terhadap kondisi lapar dan stres memang berbeda-beda. Ada yang jadi lemas dan tak bertenaga, ada pula yang malah jadi sensitif terhadap segala jenis stimulus tak menyenangkan. Mungkin untuk orang yang terakhir ini perlu diberi label peringatan, 'awas galak, sedang puasa!!'.
Inti dari ibadah puasa adalah pengendalian diri. Dengan kondisi menahan lapar dan perubahan jam biologis tubuh karena harus makan sahur, tubuh sengaja ditempatkan dalam kondisi stres. Sungguh sayang jika ibadah puasa jadi kurang bermakna karena tak tahan menahan stres, meluapkan emosi dengan marah dan uring-uringan.
"Pada saat lapar, kondisi gula darah di dalam tubuh menurun dan menyebabkan kondisi oksigen untuk supply ke otak juga turun, sehingga kualitas dari apa yang dikerjakan juga jadi turun. Nah, akibat kondisi tubuh yang turun tadi menyebabkan emosi jadi tidak seimbang," kata Ratih A. Ibrahim kepada detikHealth seperti ditulis Rabu (24/7/2013).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ada rasionalitas inilah makanya orang jadi bisa mengatur emosinya," ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, praktisi hidup sehat dr. Phaidon L. Toruan menerangkan bahwa melakukan puasa pada dasarnya menerapkan perubahan, khususnya jadwal makan yang menyebabkan perubahan mendasar dalam keseharian selama sebulan penuh. Ketika menghadapi perubahan, outputnya tergantung dari respons yang dipilih seseorang, bisa memilih santai atau justru tegang.
Saat lapar, dr Phaidon menerangkan, kondisi gula darah menurun sehingga orang jadi lebih mudah tersinggung. Ini wajar adanya sebab lapar merupakan tanda ‘bahaya’ yang menandakan tubuh perlu makanan. Saat ada tanda bahaya, individu berada dalam kondisi 'fight or flight'. Artinya, mirip seperti kehidupan primitif di mana manusia purba menghadapi ancaman, dia akan memilih melawan atau melarikan diri.
"Ketika lapar pun orang sebetulnya bisa memilih, melawan dengan amarah atau melarikan diri, dengan mengalihkan perhatian ke hal lain. Jam tidur yang berubah disertai kurangnya kualitas serta kuantitas waktu tidur bisa menyebabkan tubuh lelah. Dalam kondisi tubuh lelah, lebih mudah emosi," paparnya.
Menyambung pernyataan dr Phaidon, dokter spesialis penyakit dalam dari RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dr. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH., MMB, menerangkan bahwa secara medis dan agama, puasa justru bisa menjadi metode untuk meredam sifat uring-uringan. Sebab jika dimaknai dengan benar, puasa justru bisa membuat diri menjadi lebih tenang.
Bahkan dr Ari menjelaskan puasa dari sisi medis sebenarnya merupakan waktu yang tepat untuk proses detoksifikasi, di mana organ tubuh beristirahat, menghancurkan lemak sehingga tubuh menjadi lebih sehat. Karena perilaku marah-marah merupakan sumber penyakit, sebaiknya ibadah puasa dimanfaatkan untuk pengendalian diri.
"Tak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga harus muncul pengendalian dirinya. Jadi kendali diri ini yang membuat orang lebih sehat, termasuk mengendalikan makan dan kendali diri dari emosi. Kalau uring-uringan saat puasa jadi tidak memaknai puasa sebenarnya dong," tuturnya bijak.
(pah/vta)











































