Sembarangan mengonsumsi antibiotik bisa memicu resistensi atau kekebalan pada kuman yang dampaknya tidak bisa diremehkan. Di Amerika Serikat misalnya, tiap tahun tercatat 90.000 kematian akibat infeksi yang didapat di rumah sakit. Sebagian besar dipicu oleh 'kuman super' yang resisten.
Masalahnya bisa datang dari mana saja, baik dokter maupun pasien. Beberapa dokter terlalu mudah meresepkan antibiotik, bahkan untuk penyakit yang sebetulnya tidak membutuhkan antibiotik. Pemberian antibiotik untuk infeksi virus seperti flu, adalah contoh penggunaan yang tidak tepat.
Sedangkan dari sisi pasien, banyak yang tidak mematuhi aturan pakai obat ini. Berbeda dengan obat lain, antibiotik harus diminum sampai habis. Tapi karena merasa keluhannya sudah reda, beberapa pasien tidak menghabiskan sisanya. Akhirnya tidak semua kuman benar-benar mati, dan yang masih bertahan akan menjadi 'kuman super' yang resisten.
Baca juga: Ini yang Harus Dipastikan Jika Dokter Meresepkan Banyak Obat untuk 1 Penyakit
Ketika dokter meresepkan obat antibiotik, pasien cerdas harus memastikan diagnosis penyakitnya. Aturan pakainya seperti apa, dan berapa lama obat tersebut harus dikonsumsi. Termasuk jika ingin mengantinya dengan obat lain, pasien juga wajib mendiskusikannya dengan dokter.
"Bisa dikomunikasikan dengan dokter, kalau ternyata harganya terlalu mahal bisa minta diganti dengan yang lebih murah. Atau jika ada masalah dengan antibiotik tersebut, misalnya alergi," kata dr Titi Sekarindah, dokter gizi yang berpraktik di RS Pusat Pertamina, seperti ditulis Rabu (18/3/2015).
Dalam memilih jenis dan kekuatan antibiotik, para dokter dibekali dengan pedoman tertentu. Selama diagnosisnya tepat, maka tugas pasien adalah mematuhi aturan pakainya. Dokter dan pasien sama-sama punya tanggung jawab untuk menghindari resistensi global terhadap antibiotik.
Baca juga: Jangan Jadi 'Pasien Pasrah' Agar Hasil Pengobatan Lebih Efektif (up/vit)