Beberapa waktu lalu heboh fenomena 'tipu-tipu' sunscreen yang mengklaim memiliki SPF di atas 50, namun setelah dilakukan uji lab hanya memiliki 2 SPF. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) menyoroti banyaknya iklan promosi kosmetik yang tidak memenuhi aturan.
BPOM mengatakan bahwa ada 23 persen iklan promosi kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan. Dan dari keseluruhan angka tersebut 77 persennya berasal dari media online termasuk media sosial, TikTok, Youtube, hingga e-commerce.
Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, Reri Indriani mengatakan bahwa sanksi administratif bakal diberikan pada produsen ataupun personil yang melakukan promosi kosmetik abal-abal. Ia juga mengimbau untuk seluruh influencer maupun beauty enthusiast untuk aktif melakukan sosialisasi soal bahaya kosmetik 'abal-abal'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus patuh pada aturan, jangan pansos untuk mendapatkan likes sebanyak-banyaknya, tapi mendiskreditkan penyampaian informasi yang tidak benar kepada masyarakat," ucap Reri ketika ditemui detikcom, Rabu (20/9/2023).
"Kerjasama dengan seluruh asosiasi ke depan kita perkuat dengan BPOM RI, mengawal daya saing produk lokal indonesia tidak bekerja sendiri. Review-review yang tidak bertanggung jawab itu luar biasa, bener nggak itu?" sambungnya.
Berkaitan dengan produk sunscreen yang beredar, Reri mengatakan bahwa pihak BPOM telah melakukan uji sampling secara ketat, namun ia mengakui bahwa sejumlah produk ditemukan kerap 'overclaim' dalam jejak pengujian sampling.
"Kita sudah menyampaikan bahwa BPOM RI sebelum kosmetik tersebut diedarkan juga melakukan evaluasi terhadap kebenaran kandungan dan klaim dari SPF tersebut. Pada tahun 2022 dokumen yang dinilai sudah tidak memenuhi ketentuan terkait dengan klaim dan kandungannya," ujarnya.
"Artinya dia klaim SPF-nya 50 ternyata dari aspek formula kandungannya tidak memenuhi klaim tersebut, itu ada datanya. Pada saat setelah produk beredar, kita juga melihat klaim tersebut penandaan misalnya SPF-nya 30 kemudian kita melakukan auditnya ternyata tidak sesuai kita kita minta disesuaikan," sambungnya.
Jika kandungan SPF dalam produk tidak bisa diperbaiki sesuai dengan klaim awal, BPOM selalu meminta produsen untuk mencantumkan keterangan yang sebagai mana mestinya sesuai dengan hasil lab.
Melalui keterangan tertulis, BPOM menyebutkan bahwa pengujian nilai SPF dilakukan dengan metode in vitro dan in vivo.
Metode in vitro dilakukan menggunakan alat spektrofotometri ultra violet (UV). Uji ini digunakan sebagai uji awal untuk menentukan perkiraan nilai SPF tabir surya dan belum dapat dijadikan acuan untuk menetapkan nilai SPF.
Sedangkan in vivo merupakan metode uji standar utama untuk menentukan nilai SPF kosmetik. Metode pengujian dilakukan pada subjek uji manusia sehingga lebih menggambarkan nilai SPF yang sebenarnya.
Untuk pencantuman klaim dan nilai SPF, BPOM menggunakan data dukung yang berasal dari hasil uji in vivo untuk menentukan nilai SPF yang dapat dicantumkan pada produk kosmetik tabir surya.
(avk/naf)











































