Lewat Simulasi Virtual, Risiko Alzheimer Bisa Diketahui Puluhan Tahun Sebelumnya

Lewat Simulasi Virtual, Risiko Alzheimer Bisa Diketahui Puluhan Tahun Sebelumnya

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Senin, 26 Okt 2015 12:04 WIB
Lewat Simulasi Virtual, Risiko Alzheimer Bisa Diketahui Puluhan Tahun Sebelumnya
Foto: Thinkstock
Bonn - Ada beragam cara yang coba dikembangkan ilmuwan untuk mengetahui risiko penyakit Alzheimer. Upaya ini dirasa penting mengingat Alzheimer sulit dideteksi dan dipahami gejalanya.

Baru-baru ini tim yang dipimpin Lukas Kunz dari German Centre for Neurodegenerative Disease, Bonn menemukan metode baru untuk mendeteksi Alzheimer dengan memanfaatkan teknologi virtual reality. Seperti kita tahu, ini adalah teknologi yang memungkinkan seseorang melakukan simulasi terhadap suatu obyek seolah-olah ia benar-benar terlibat secara fisik dengan obyek tersebut.

Peneliti kemudian melibatkan sejumlah partisipan yang berumur antara 18-30 tahun. Masing-masing dari mereka diminta melakukan navigasi dalam sebuah labirin virtual, untuk mengetes seberapa baik fungsi sel-sel otak mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ternyata dari performa partisipan sudah bisa dilihat sejauh mana risiko Alzheimer yang mereka miliki. Tak peduli berapapun usianya, mereka yang memiliki risiko Alzheimer tinggi terlihat memberikan navigasi dengan cara yang berbeda dan mengalami penurunan fungsi sel-sel otak, terutama saat melakukan navigasi spasial atau pengenalan ruang.

"Temuan kami dapat memberikan penjelasan mengapa orang dengan demensia kerapkali kesulitan melakukan navigasi," simpul Kunz seperti dikutip dari BBC, Senin (26/10/2015).

Baca juga: Ukuran Otak Disebut Bisa Deteksi Risiko Demensia dan Alzheimer

Di sisi lain, temuan Kunz dan timnya sedikit banyak telah memberikan pencerahan tentang gejala paling dini dari Alzheimer. "Di sini terlihat ada perubahan kemampuan navigasi spasial, bahkan beberapa dekade sebelum gejala penyakitnya benar-benar muncul," kata Dr Laura Phipps dari Alzheimer's Research saat menanggapi studi ini.

Sayangnya peneliti tidak melakukan follow-up pada partisipan muda yang diduga berisiko tinggi, sehingga tidak dapat dipastikan apakah yang bersangkutan akan benar-benar terkena Alzheimer atau tidak di kemudian hari.

"Setidaknya menemukan karakter perubahan otak secara dini semacam ini dapat dikaitkan dengan faktor risiko genetik yang bisa membantu peneliti untuk memahami mengapa ada orang yang lebih rentan terkena Alzheimer dan mengapa ada yang tidak," paparnya.

Dr Phipps mengingatkan, faktor risiko Alzheimer sangatlah beragam, di antaranya usia, genetik, dan gaya hidup. Dan dengan adanya studi-studi seperti yang dilakukan Kunz, ilmuwan bisa tahu faktor risiko mana yang lebih berperan dalam menentukan risiko Alzheimer seseorang.

Baca juga: Dari Berbagai Pemicu Alzheimer, Gen dan Penuaan Hanya Sepertiga

(lll/vit)

Berita Terkait