Awalnya, Dr Warsito ingin mendaftarkan laboratorium risetnya sebagai klinik kanker. Di klinik itulah ia hendak mengkaryakan alat temuannya yakni Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Masyarakat mengenalnya sebagai rompi antikanker.
Namun niat ini terbentur Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 28 tahun 2011 tentang klinik. Dalam aturan tersebut hanya ada 2 jenis klinik berdasarkan pelayanan yang diberikan, yakni klinik pratama untuk pelayanan medik dasar dan klinik utama untuk pelayanan spesialistik. Klinik Dr Warsito tidak memenuhi syarat keduanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permenkes no 28/2011 tentang Klinik |
Pada 20 November 2012, Kementerian Kesehatan melayangkan surat pada Walikota Tangerang. Isinya antara lain mendorong penertiban klinik milik Dr Warsito di Alam Sutera. Saat ini, tulisan 'klinik' dalam papan nama PT Edwar Technoloigy sudah ditutup dengan selotip.
"Akhirnya kita coba untuk mendaftar sebagai klinik alternatif atau pengobatan komplementer. Karena memang saat ini belum ada yang menggunakan alat seperti kami dan belum diakui sebagai modalitas pengobatan kanker," unkap Dr Warsito.
Upaya untuk mendaftar sebagai klinik alternatif atau komplementer juga menemui kegagalan. Merujuk pada Permenkes no 1109 tahun 2007 tentang Pengobatan Komplementer-Alternatif, penggunaan alat dan obat dalam pengobatan komplementer-alternatif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Permenkes no 1109/2007 tentang Pengobatan Alternatif-Komplementer |
Di sinilah Dr Warsito menemui hambatan. ECCT yang berupa rompi dan helm termasuk ke dalam kategori alat kesehatan dengan risiko tinggi dan membutuhkan uji klinis sebelum boleh digunakan. Padahal menurut Dr Warsito, alat buatannya tidak memiliki risiko tinggi.
"Mungkin karena implikasinya terhadap kanker jadinya termasuk risiko tinggi. Padahal secara teknis alat saya termasuk kategori risiko rendah atau sedang, karena arus listriknya rendah sekali, cuma 15 volt, setara bohlam 15 watt," ungkap Dr Warsito berapi-api.
Dr Warsito mengaku bingung dengan regulasi yang ada. Argumennya, bagaimana bisa alat dengan arus listrik rendah dikategorikan sebagai alat kesehatan berisiko tinggi. Karena itu ia mengambil kesimpulan bahwa saat ini Indonesia belum siap untuk melahirkan inovasi buatan dalam negeri.
"Aturan di negara kita sangat simpel dan sedikit, terutama terkait regulasi alat kesehatan buatan dalam negeri. Berbeda dengan negara lain yang memang sulit, namun clear dan jelas," tandasnya.
UU No 36/2009 tentang Kesehatan |
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berkewajiban melindungi keselamatan pasien. Pada 2012, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kemenkes telah menandatangani nota kesepahaman terkait pengembangan riset alat tersebut.
Dalam perjalanannya, Balitbangkes menilai ada sejumlah prosedur penelitian tidak dipenuhi oleh Dr Warsito. Akhirnya pada Rabu (2/12/2015), Dr Warsito dan Kemenkes duduk satu meja, menyepakati review selama maksimal 30 hari kerja. Selama review berlangsung, Dr Warsito tidak boleh menerima pasien baru.
"Apa yang dilakukan oleh Pak Warsito adalah sebuah inovasi yang perlu dikawal, tentu dalam kaidah penelitian yang baik, karena akan digunakan untuk manusia," kata Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang medikolegal, drg Tritarayati, SH.
Halaman 2 dari 1
Rompi Antikanker Dr Warsito
14 Konten
Riset kontroversial rompi antikanker temuan Dr Warsito memasuki babak baru. Penemunya menyepakati 3 hal bersama Kementerian Kesehatan, salah satunya untuk me-review riset tersebut.












































Permenkes no 28/2011 tentang Klinik
Permenkes no 1109/2007 tentang Pengobatan Alternatif-Komplementer
UU No 36/2009 tentang Kesehatan