Kemenristek-Dikti menilai teknologi rompi pembasmi kanker yang dikembangkan Dr Warsito sebagai riset inovatif yang perlu didukung. Dalam tahap komersialisasi, teknologi yang dilabeli sebagai 'karya anak bangsa' ini membutuhkan proses 'scale up'.
"Saya minta Kementerian Kesehatan untuk melakukan pendampingan dalam rangka scale up, bukan penutupan," kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir saat mengunjungi Laboratorium milik Dr Warsito Purwo Taruno, M.Eng, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, Dr Warsito juga mengembangkan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Teknologi yang diklaim bisa membunuh sel kanker inilah yang belakangan menuai pro dan kontra karena diterapkan pada manusia tanpa melalui prosedur uji klinis. Oleh Kementerian Kesehatan, klinik Dr Warsito yang menyediakan layanan ECCT telah ditutup sementara untuk proses review.
Baca juga: Aturan-aturan Ini Jadi Sandungan Bagi Dr Warsito dan Rompi Antikankernya
Fisikawan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang juga Senior Research Fellow di Nanyang Technological University (NTU), Dr Danang Birowosuto menyebut kanker sebagai hot topic di bidang ilmu pengetahuan. Review oleh Kementerian Kesehatan saja tidak cukup, melainkan harus menjalani penelitian multidisiplin, yang juga melibatkan bidang kedokteran, dan hasilnya dipublikasikan di jurnal internasional.
"Mengapa saya katakan harus jurnal internasional peer review? Agar hasil penelitian Dr Warsito dilihat dunia dan ada pengujian atas penelitian tersebut," kata Dr Danang yang juga memegang sejumlah paten internasional untuk teknologi pemindaian.
Review oleh sesama peneliti prosesnya jauh lebih panjang dibandingkan review Kementerian Kesehatan yang disebutkan hanya 30 hari kerja. Sebagai contoh, Dr Danang menyebut Photothermal Therapy yang sudah sepuluh tahun dikembangkan namun belum hingga kini belum menjadi standar terapi kanker. Teknologi ini mirip ECVT, namun menggunakan gelombang inframerah.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Dr Keri Lestari, M.Si, Apt, seorang peneliti obat dari Universitas Padjadjaran. Menurut ilmuwan yang menciptakan obat diabetes berbahan herba asli Indonesia tersebut, review oleh Kementerian Kesehatan tidak akan memutus atau melemahkan riset. Kementerian Kesehatan sebagai regulator wajib mendukung riset Dr Warsito tetapi juga harus mengarahkan jika ada kelemahan dalam riset tersebut.
"Penelitian itu hendaknya quadruple helix, jadi ada community, akademisi, dan government. Kalau tiga ini kuat, maka bisnis tinggal mengikuti," kata Dr Keri, yang memulai risetnya tentang obat diabetes sejak 2008 dengan berkolaborasi dengan Yonsei University di Korea, dan dalam waktu dekat akan melempar hasilnya ke pasaran.
Penyakit akan selalu ada, dan oleh karenanya pasien adalah pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk inovasi pengobatan. Karya anak bangsa tentu sangat membanggakan. Namun ketika para pasien rela mengorbankan apa saja untuk 'menebus' nyawanya, maka jaminan keamanan harus berada di atas segala-galanya. (up/rdn)











































