Meski ada yang mengatakan mudah cemas sebagai 'bawaan lahir', tetapi menurut sebuah penelitian karakter semacam ini akan meningkatkan peluang seseorang untuk terserang demensia atau kepikunan di kemudian hari.
Hal ini didasarkan pada hasil pengamatan terhadap 1.082 pasang kembar identik maupun non-identik selama 28 tahun. Masing-masing pasangan juga mengerjakan tes yang diberikan peneliti tiap tiga tahun sekali. Di waktu yang sama, partisipan juga mendapatkan screening untuk mengetahui risiko demensia mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Studi: Kecepatan Berjalan Lansia Berhubungan dengan Risiko Alzheimer
Fakta ini kemudian diperkuat dengan temuan bahwa pasangan kembar yang mengidap demensia di kemudian hari punya riwayat ansietas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak terserang demensia. Gejala ansietas yang muncul di diri mereka juga tidak seperti ansietas pada umumnya.
Walaupun tidak bisa menemukan penyebabnya, Andrew berasumsi si tukang cemas cenderung mengalami kenaikan hormon stres, termasuk kortisol. Padahal tingginya kadar kortisol dalam otak dapat merusak sejumlah bagian otak seperti hippocampus yang berfungsi menyimpan memori dan juga frontal cortex yang berperan dalam pola pikir.
"Baru kali ini ansietas atau gangguan kecemasan dikaitkan dengan demensia, karena sebelumnya kondisi ini lebih banyak dikaitkan dengan depresi," ungkap peneliti, Andrew Petkus dari University of Southern California, seperti dikutip dari Your Health, Minggu (3/1/2016).
Petkus juga menyadari bahwa gejala ansietas pada orang dewasa tidak diperhatikan sebaik gejala depresi. Padahal kemunculan gejala depresi sifatnya hanya episodik, sedangkan ansietas bersifat kronis dan kemungkinan berlangsung dalam waktu lama. Menurut Andrew ini karena ansietas lebih dianggap sebagai bagian dari karakteristik seseorang.
Baca juga: Perubahan Rasa Humor Bisa Jadi Tanda Peringatan Awal Gejala Demensia
Andrew dan timnya juga menemukan, keterkaitan ini lebih banyak terlihat pada kembar non-identik, sehingga muncul dugaan lain bahwa ada tidaknya risiko demensia juga ditentukan oleh faktor genetik. Namun peneliti masih harus melakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan jawabannya.
(lll/up)











































