Hal ini diungkap oleh Kenji Obayashi dari Nara Medical University School of Medicine, Jepang dengan mengamati 863 lansia di Jepang selama dua tahun. Di tempat tidur partisipan sengaja dipasang sebuah alat pengukur cahaya portabel untuk mengukur paparan cahaya di malam hari.
Setiap partisipan juga menjalani pemeriksaan gejala depresi dan diamati pola tidur dan bangunnya setiap malam.
Hasilnya, partisipan yang terpapar lebih dari lima kali 'lux' setiap malam mempunyai peluang lebih tinggi untuk terkena depresi. 'Lux' merupakan ukuran standar yang setara dengan besaran cahaya yang terpancar dari sebatang lilin yang jaraknya 1 meter dari seseorang.
Sebagai perbandingan, ruang keluarga memiliki paparan cahaya sebanyak 50 lux, sedangkan paparan cahaya di luar rumah di siang hari adalah sebanyak 10.000-25.000 lux. Paparan cahaya sebanyak 5 lux setara dengan cahaya lampu jalan yang masuk lewat jendela ke dalam ruangan atau kamar yang gelap.
Sebenarnya hanya ada 150 partisipan yang kamar tidurnya terpapar lebih dari cahaya sebanyak 5 lux setiap malam, namun 65 persen dari kelompok tersebut memperlihatkan kenaikan peluang terserang depresi dalam kurun dua tahun atau selama studi berlangsung.
Peneliti juga menemukan mereka yang terpapar cahaya, bahkan yang redup sekalipun cenderung tidur lebih awal namun bangun belakangan dan menghabiskan waktu lebih banyak di atas tempat tidur ketimbang rekan-rekan mereka yang tidur di kamar yang lebih gelap.
"Studi-studi sebelumnya juga menyebut bahwa adanya cahaya di malam hari memang memicu gangguan tidur, mengganggu pelepasan melatonin (hormon tidur, red) dan gangguan pada perilaku tidur/bangun... dan depresi biasanya juga disertai oleh kondisi-kondisi ini," ungkap peneliti.
"Untuk itu mempertahankan kegelapan di kamar tidur di malam hari bisa jadi cara yang mudah dan simpel untuk mencegah depresi," imbuhnya seperti dalam email yang ditulis kepada TIME.
Pakar tidur dr Andreas Prasadja, RPSGT dari RS Mitra Kemayoran menjelaskan, tidur dalam keadaan lampu menyala memang berdampak buruk bagi orang yang mengalaminya.
"Melatonin ga keluar, tidurnya kurang maksimal. Kalo ga tidur maksimal apa? Produktivitas otomatis menurun, kemampuan konsentrasi, metabolisme terganggu, efeknya juga bisa ke kulit," ungkapnya kepada detikHealth beberapa waktu lalu.