Metode tersebut dibahas juga oleh dr Terawan dalam desertasi S3 di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar beberapa waktu lalu. Di kampus tersebut, dr Terawan mendapatkan gelar doktor dengan penelitian tentang Heparin dan Digital Substraction Angiography (DSA).
Menanggapi kontroversi seputar metode yang dikaitkan dengan terapi 'cuci otak' tersebut, Rektor Universitas Hasanuddin Unhas, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A menulai tidak ada kekeliruan dalam penelitian dr Terawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau begitu menurut saya bisa jadi ramai karena persepsi yang multi interpretasi. Ada yang berdasarkan perspektif konvensional yang ada saat ini," lanjutnya.
Menurut Dwia, metode yang dikembangkan dr Terawan secara akademik sudah berdasar proses yang teruji, dan memiliki bukti pada penelitian yang dilakukan pada beberapa pasien.
Sebagai akademisi, Dwia menegaskan dirinya tidak memihak dr Terawan. Ia hanya berpendapat, ada keterbatasan keilmuan yang memerlukan terobosan untuk mengatasi stagnansi inovasi.
"Negara ini perlu inovator yang mampu mengeksplorasi segala peluang, berani melakukan terobosan atas kebenaran konvensional yang dianut selama ini dalam bidang semua ilmu, termasuk kedokteran," terangnya.
Dwia mengatakan, dr Terawan perlu mengkomunikasikan dengan baik metode yang dikembangkannya.
Kontroversi tentang terapi cuci otak menggunakan DSA dan heparin kembali mencuat menyusul beredarnya surat pemecatan sementara dr Terawan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tidak disebutkan alasan pemecatan tersebut, namun banyak spekulasi mengaitkannya dengan terapi cuci otak yang dikembangkannya.











































