Disebut Ketua Dewan Pertimbangan IDI Prof Dr Errol U Hutagalung, SpB, SpOT(K) bahwa dr Terawan seharusnya menguji lebih lanjut penelitiannya terkait metode cuci otak dengan menggunakan alat Digital Subtraction Angiography (DSA).
"Kalau kita mengikuti sampai saat disertasi pun terjadi pro dan kontra, makanya harus dilanjutkan (uji klinis). Karena suatu terapi itu kalau menurut kaidah ilmiah sebenarnya walau mulai dengan testimoni-testimoni tapi harus diuji lagi dong," ujarnya usai konferensi pers di Sekretariat PB IDI, Jl Sam Ratulangi, Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau seandainya dia melalui prosedur dengan baik, kita akan bangga dengan dr Terawan, karena dia telah melakukan suatu pemikiran out of the box dan bermanfaat untuk masyarakat. Tetapi ada proses yang harus dilalui," jelas Prof Marsis.
Menurutnya, seseorang dengan pemikiran out of the box memiliki pemikiran yang ditata kelola dengan baik sesuai dengan prosedur yang baku.
"Kalau kita lihat yang mendapatkan nobel, mereka yang mempunyai pemikiran out of the box... Semua kita lihat orang-orang aneh waktu kita baca tulisan awal dari nobel. Tapi akhirnya kita lihat dia yang betul," lanjutnya.
Atas keputusan pada rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) tanggal 8 April 2018, PB IDI menunda melaksanakan putusan MKEK untuk memecat dr Terawan. Prof Marsis mengatakan bahwa masih akan menganalisis pelanggaran-pelanggaran yang disebut dilakukan oleh dr Terawan dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada.
Juga menyerahkan pada Tim Health Technology Assessment (HTA) Kementerian Kesehatan untuk menganalisis metode penelitian yang sudah diterapkan dr Terawan pada pasiennya, atau yang biasa dikenal dengan terapi cuci otak.
"Yang terpenting masyarakat, kalau seandainya yang dilakukan dr Terawan itu sudah memenuhi standar-standar yang berlaku, tentunya beliau tidak salah. Nah itu yang kita kumpulkan bukti-bukti dan kita tunda (pemecatan)," jelasnya.











































