Menengok Lagi Setahun Perjalanan Sutopo Bergelut dengan Kanker Paru

Menengok Lagi Setahun Perjalanan Sutopo Bergelut dengan Kanker Paru

Roshma WIdiyani - detikHealth
Rabu, 06 Feb 2019 19:27 WIB
Menengok Lagi Setahun Perjalanan Sutopo Bergelut dengan Kanker Paru
Melawan kanker paru-paru, Sutopo tetap gigih bekerja. Foto: Arief/detikcom
Jakarta - Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho telah satu tahun menghadapi kanker paru stadium IV B. Selama kurun waktu tersebut, Sutopo mengalami gejolak batin dan emosi seiring pertumbuhan sel kanker. Sutopo sempat merasa down namun harus segera menghadapi kenyataan kanker tak sembuh jika menyerah.

Di tengah pergulatannya, Sutopo masih harus menjalankan tugas menyampaikan informasi seputar bencana. Kehadirannya menentukan langkah evakuasi, penanganan, dan kewaspadaan menghadapi bencana berikutnya. Bisa dikatakan Sutopo adalah sosok pertama yang dicari bila terjadi berbagai jenis bencana. Kanker nyatanya tak membuat Sutopo libur dari aktivitas tersebut.

Saat ini, Sutopo masih bergelut dengan kanker sambil menjalankan tugasnya di BNPB. Berikut rangkuman 1 tahun Sutopo mencari jalan sembuh dan terus bertugas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sempat down dan menolak diagnosa

Foto: Ari Saputra
Sutopo terdiagnosa kanker di sekitar awal Desember 2017 dalam kunjungan tidak sengaja ke dokter paru. Sutopo tidak percaya jika batuk-batuk yang dialaminya adalah gejala kanker paru. Sutopo sempat ke Malaysia untuk mencari second opinion atas penyakit yang dialaminya.

"Saya sudah dijadwalkan menjalani kemoterapi di sana karena hasilnya ternyata positif kanker. Dokter bahkan bilang umur saya mungkin cuma sampai 1-3 tahun lagi. Saya sedih sekali sampai nangis di pojokan," kata Sutopo.

Mencoba bangkit dengan bantuan istri, keluarga, dan lingkungan terdekat

Foto: Dok. pribadi
Periode awal usai pemberitahuan hasil tes kanker menjadi periode yang paling berat bagi Sutopo. Sang istrilah yang meminta Sutopo untuk melanjutkan pengobatan di Jakarta dengan pendampingan orang-orang terdekat. Sutopo juga mendapat nasihat dari seorang pemimpin agama dan sempat rukyah demi kesembuhan penyakitnya.

"Setelah nelpon istri, saya balik ke Jakarta untuk menata hati. Saya juga sempat mendapat nasihat yang membuat hati dan pikiran terasa plong, sebelum sempat masuk pondok pesantren di Malang. Setelah 2 minggu di sana, saya kembali ke Jakarta dan menjalani upaya medis," ujar Sutopo.

Kanker mulai mengganggu kehidupan sehari-hari

Foto: Ari Saputra
Efek samping kanker mulai mengganggu aktivitas keseharian Sutopo. Dia sempat tidak sanggup berjalan sejauh 20 meter tanpa merasa sesak. Paru-parunya penuh air yang harus segera dikeluarkan sebelum membahayakan keselamatan Sutopo. Dokter akhirnya memasang kateter yang memungkinkan air dalam paru dikeluarkan sendiri tanpa perlu ke rumah sakit. Sutopo kini tak lagi menggunakan kateter pig tail tersebut.

"Saya juga merasa sakit di dada kiri dan punggung seperti ditusuk atau dikerok dengan ujung paku. Dokter sudah meresepkan obat antinyeri yang mengandung morfin. Tapi, saya masih merasa sakit hingga sulit tidur. Dalam semalam saya cuma tidur 2-3 jam. Kalau dilihat sekarang tulang punggung saya bengkok karena mengalami skoliosis," kata Sutopo.

Menjalani pengobatan sambil terus bertugas

Foto: Samsudhuha Wildansyah/detikcom
Sutopo tak menampik jika dirinya terus dibayangi ketakutan dan kematian menghadapi kanker. Namun Sutopo yakin tak ada gunanya menyerah menghadapi ancaman kanker. Tekad inilah yang membawa Sutopo menjalani berbagai upaya pengobatan. Sutopo bahkan membayar sendiri biaya pengobatan, sebelum mempertimbangkan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena tarif yang mahal.

Tekad Sutopo langsung mendapat tantangan dengan bencana di Indonesia yang tak pernah berhenti. Ring of Fire, dikelilingi perairan, dan lempeng yang aktif bergerak mengakibatkan Indonesia tak pernah sepi dari ancaman gempa bumi, tsunami, hingga erupsi vulkanik. Belum lagi bencana yang bersifat musiman misal banjir, longsor, hingga kebakaran hutan di beberapa wilayah.

"Kesibukan membantu saya menghadapi kanker dan upaya pengobatannya. Kalau tidak ada kegiatan jadi kepikiran terus, jadi saya menderita banget tiap Sabtu dan Minggu. Tapi anehnya bencana justru sering datang tiap Jumat, Sabtu, dan Minggu, jadinya saya terpancing segera mengirim pemberitahuan," ujar Sutopo.

Medis dan herbal

Foto: Rosmha Widiyani/detikHealth
Sutopo memang percaya medis yang bisa menyembuhkan kanker lebih cepat. Namun, dia tidak antipati pada obat herbal atau terapi alternatif lainnya untuk kesembuhan kanker. Sutopo yakin herbal bisa memperkuat tubuhnya menghadapi efek pengobatan dan perkembangan kanker. Tentunya upaya pengobatan selain medis dilakukan dengan sepengetahuan dokter.

"Saya dapat banyak obat dari warganet yang perhatian dengan kondisi sekarang. Tapi saya takut kalau asal minum campur-campur gini. Karena itu, saya konsultasikan lebih dulu dengan dokter supaya bisa mendapat jadwal minum obat yang tepat. Saat ini selain obat dari dokter, saya juga minum seduhan herbal sebanyak 3 gelas tiap pagi," kata Sutopo

Komitmen menolak kalah

Foto: 20detik
Satu tahun terasa lambat dalam perjuangan melawan kanker. Menurut Sutopo, pertumbuhan kankernya seperti diisolasi sehingga tidak bertambah besar. Dengan hasil ini, Sutopo bertekad terus melanjutkan upaya pengobatan terlepas dari berbagai risikonya. Sutopo juga bertekad selalu berpikir positif menghadapi terapi penyembuhan dan pertumbuhan sel kanker.

"Saya kuat, sehat, dan tidak menyerah menghadapi kanker paru stadium IV B. Saya berharap penyintas kanker lain juga bertekad serupa dengan menggunakan segala upaya. Namun saya juga berharap mereka yang sehat bisa lebih menghargai kondisinya," kata Sutopo.

Halaman 2 dari 7
Sutopo terdiagnosa kanker di sekitar awal Desember 2017 dalam kunjungan tidak sengaja ke dokter paru. Sutopo tidak percaya jika batuk-batuk yang dialaminya adalah gejala kanker paru. Sutopo sempat ke Malaysia untuk mencari second opinion atas penyakit yang dialaminya.

"Saya sudah dijadwalkan menjalani kemoterapi di sana karena hasilnya ternyata positif kanker. Dokter bahkan bilang umur saya mungkin cuma sampai 1-3 tahun lagi. Saya sedih sekali sampai nangis di pojokan," kata Sutopo.

Periode awal usai pemberitahuan hasil tes kanker menjadi periode yang paling berat bagi Sutopo. Sang istrilah yang meminta Sutopo untuk melanjutkan pengobatan di Jakarta dengan pendampingan orang-orang terdekat. Sutopo juga mendapat nasihat dari seorang pemimpin agama dan sempat rukyah demi kesembuhan penyakitnya.

"Setelah nelpon istri, saya balik ke Jakarta untuk menata hati. Saya juga sempat mendapat nasihat yang membuat hati dan pikiran terasa plong, sebelum sempat masuk pondok pesantren di Malang. Setelah 2 minggu di sana, saya kembali ke Jakarta dan menjalani upaya medis," ujar Sutopo.

Efek samping kanker mulai mengganggu aktivitas keseharian Sutopo. Dia sempat tidak sanggup berjalan sejauh 20 meter tanpa merasa sesak. Paru-parunya penuh air yang harus segera dikeluarkan sebelum membahayakan keselamatan Sutopo. Dokter akhirnya memasang kateter yang memungkinkan air dalam paru dikeluarkan sendiri tanpa perlu ke rumah sakit. Sutopo kini tak lagi menggunakan kateter pig tail tersebut.

"Saya juga merasa sakit di dada kiri dan punggung seperti ditusuk atau dikerok dengan ujung paku. Dokter sudah meresepkan obat antinyeri yang mengandung morfin. Tapi, saya masih merasa sakit hingga sulit tidur. Dalam semalam saya cuma tidur 2-3 jam. Kalau dilihat sekarang tulang punggung saya bengkok karena mengalami skoliosis," kata Sutopo.

Sutopo tak menampik jika dirinya terus dibayangi ketakutan dan kematian menghadapi kanker. Namun Sutopo yakin tak ada gunanya menyerah menghadapi ancaman kanker. Tekad inilah yang membawa Sutopo menjalani berbagai upaya pengobatan. Sutopo bahkan membayar sendiri biaya pengobatan, sebelum mempertimbangkan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena tarif yang mahal.

Tekad Sutopo langsung mendapat tantangan dengan bencana di Indonesia yang tak pernah berhenti. Ring of Fire, dikelilingi perairan, dan lempeng yang aktif bergerak mengakibatkan Indonesia tak pernah sepi dari ancaman gempa bumi, tsunami, hingga erupsi vulkanik. Belum lagi bencana yang bersifat musiman misal banjir, longsor, hingga kebakaran hutan di beberapa wilayah.

"Kesibukan membantu saya menghadapi kanker dan upaya pengobatannya. Kalau tidak ada kegiatan jadi kepikiran terus, jadi saya menderita banget tiap Sabtu dan Minggu. Tapi anehnya bencana justru sering datang tiap Jumat, Sabtu, dan Minggu, jadinya saya terpancing segera mengirim pemberitahuan," ujar Sutopo.

Sutopo memang percaya medis yang bisa menyembuhkan kanker lebih cepat. Namun, dia tidak antipati pada obat herbal atau terapi alternatif lainnya untuk kesembuhan kanker. Sutopo yakin herbal bisa memperkuat tubuhnya menghadapi efek pengobatan dan perkembangan kanker. Tentunya upaya pengobatan selain medis dilakukan dengan sepengetahuan dokter.

"Saya dapat banyak obat dari warganet yang perhatian dengan kondisi sekarang. Tapi saya takut kalau asal minum campur-campur gini. Karena itu, saya konsultasikan lebih dulu dengan dokter supaya bisa mendapat jadwal minum obat yang tepat. Saat ini selain obat dari dokter, saya juga minum seduhan herbal sebanyak 3 gelas tiap pagi," kata Sutopo

Satu tahun terasa lambat dalam perjuangan melawan kanker. Menurut Sutopo, pertumbuhan kankernya seperti diisolasi sehingga tidak bertambah besar. Dengan hasil ini, Sutopo bertekad terus melanjutkan upaya pengobatan terlepas dari berbagai risikonya. Sutopo juga bertekad selalu berpikir positif menghadapi terapi penyembuhan dan pertumbuhan sel kanker.

"Saya kuat, sehat, dan tidak menyerah menghadapi kanker paru stadium IV B. Saya berharap penyintas kanker lain juga bertekad serupa dengan menggunakan segala upaya. Namun saya juga berharap mereka yang sehat bisa lebih menghargai kondisinya," kata Sutopo.

(up/up)

Hari Kanker Sedunia
45 Konten
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan jumlah pengidap kanker. Dari 1,4 tiap 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 1,79 tiap 1.000 penduduk pada 2018. Kanker paru tertinggi pada laki-laki, kanker payudara tertinggi pada perempuan.
Berita Terkait