Artinya kemungkinan besar salah satu orang tua menjadi carrier atau pembawa sifat penyakit tersebut. Oleh karena itu, perlukah diadakan skrining genetik sebelum menikah sebagai suatu bentuk pencegahan?
"Kalau kita melakukan skrining, maka yang diskrining adalah penyakit yang bisa diobati. Nah kalau penyakit itu bisa diobati dan skrining dilakukan, negara yang bertanggung jawab membayari terapinya. Itu yang belum dilakukan di negara Indonesia sampai sekarang," tutur dr Damayanti pada acara Rare Disease Day 2019 bertajuk #LiveWithRare di Jakarta Timur, Rabu (27/2/2019).
Skrining genetik sebelum menikah untuk mencegah penyakit langka tidak bisa dilakukan, kecuali memang sudah ada riwayat keluarga akan suatu penyakit langka. Pemeriksaan memang baru bisa dilakukan apabila sudah ada kasus terlebih dahulu.
dr Damayanti melanjutkan, yang bisa dilakukan sebenarnya adalah newborn screening atau skrining pada bayi baru lahir. Newborn screening sudah dilakukan oleh beberapa negara seperti Jepang atau bahkan Malaysia, dan sayangnya belum dipraktikkan di Indonesia.
Skrining juga dilakukan untuk mengetahui apabila ada orang tua dari pengidap penyakit langka ingin punya anak kembali, namun takut akan risiko mengalami penyakit yang sama. dr Damayanti menyebutkan ada teknologi baru menggunakan bayi tabung.
"Dipastikan, anaknya punya kelainan apa. Setelah ketemu, nanti bapak-ibunya diperiksa lagi, kalau kebetulan bapak-ibunya tidak ada [pembawa sifat], berarti dia bisa punya anak lain dengan risiko yang lebih kecil. Tetapi jika ada, kita bisa membuat bayi tabung, dan dilihat mana embrio yang sehat baru nanti itu yang akan dimasukkan ke rahim ibu," jelas Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik IKA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo ini.
"Mungkin namanya langka tapi bukan berarti nggak bisa ya. Dan sedang saya usahakan semurah mungkin supaya lebih bisa dijangkau," pungkasnya.