Menanggapi hal ini, psikolog dari Universitas Indonesia Firman Ramdhani mengatakan bahwa para korban bukan merasa empati, melainkan simpati. Firman menekankan bahwa kedua hal ini harus dibedakan.
"Itu bukan empati, tapi rasa kasian atau simpati saja," ujarnya kepada detikcom, Sabtu (14/9/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simpati kebalikan dari empati, seseorang tidak harus memahami lebih dalam soal kesulitan orang lain. Yang muncul saat simpati adalah rasa kasihan dengan membayangkan bagaimana rasanya apabila berada di posisi orang yang kesusahan.
Menurut pandangan psikolog klinis dari Personal Growth, Veronica Adesla, MPsi, sangat memungkinkan seseorang menipu dengan memanfaatkan simpati orang lain untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan. Bukan tak mungkin ada oknum yang hanya mengandalkan iba untuk meraup keuntungan, baik moril maupun materiil.
"Ketika orang bersimpati ataupun iba, hati mereka tersentuh atau tergerak untuk membantu orang yang membuat iba tersebut, seperti bersedia memberikan uang, atau membeli, atau ikut vote, dan sebagainya," katanya.
(wdw/up)











































