"Berjabat tangan adalah bentuk memberi salam yang penting dan berdampak jangka panjang pada hubungan yang hendak dibangun. Sebelumnya sudah ada bukti untuk pelukan sebagai bentuk salam, sebaiknya jangan dilakukan lebih dari tiga detik. Pelukan atau jabat tangan yang tidak terlalu lama terasa lebih natural," kata pimpinan studi Dr Emese Nagy dikutip dari Daily Mail.
Menurut Dr Nagy, jabat tangan yang lebih dari tiga detik mungkin terlihat sebagai sikap yang hangat. Namun, sikap ini ternyata tidak direspon orang yang menerima jabat tangan dengan baik meski sudah tak lagi bersalaman. Peneliti menyoroti kebiasaan politisi yang kerap berlama-lama jabat tangan, salah satunya Presiden Amerika Donald Trump.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada politisi yang cenderung berlama-lama saat melakukan jabat tangan. Sikap ini sering digunakan untuk mengekspresikan kehangatan, tapi juga berarti menunjukkan kekuasaan atau dominasi. Ini bisa membahayakan hubungan pribadi dan kualitas kerja dengan pihak yang diajak berjabat tangan," kata Dr Nagy.
Dalam riset, hal ini ditunjukkan dengan kecemasan yang mulai muncul dan jarang tertawa. Sikap lainnya adalah tidak lagi menikmati interaksi tersebut. Salah mengartikan sikap jabat tangan yang terlalu lama juga terjadi pada mereka yang menyaksikannya.
Riset telah dipublikasikan dalam jurnal Perceptual And Motor Skills berjudul Effects Of Handshake Duration On Other Nonverbal Behavior. Studi dilakukan terhadap 25 wanita dan 9 pria melalui wawancara yang dimulai dengan jabat tangan.
Periset tidak berjabat tangan dengan 1/3 responden, menyapa 1/3 lain dengan jabat tangan selama 2-3 detik, dan sisanya dengan salaman lebih dari tiga detik. Riset tidak melihat adanya perubahan sikap pada responden yan tidak melakukan jabat tangan.
(kna/kna)











































