Syarat tes PCR untuk pelaku perjalanan domestik via udara kini menuai kritik dan pertanyaan. Tak hanya dari masyarakat, juga dari ahli epidemiologi lantaran dinilai tak tepat diterapkan jika tujuannya adalah menekan mobilitas.
"Jika tujuannya untuk menekan mobilitas menjelang Natal dan Tahun Baru, tentu hal ini tidak tepat. Karena kepentingan mobilisasi tidak terkait jenis tes," terang ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Dr Masdalina Pane, pada detikcom, Minggu (24/10/2021).
Ia menegaskan, moda transportasi udara untuk perjalan domestik cenderung tidak digunakan oleh kelompok masyarakat berekonomi rendah. Walhasil, harga tes PCR 500.000 hingga 550.000 rupiah tak bakal menjadi pertimbangan besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara orang-orang yang tak sanggup membayar biaya PCR, bisa langsung beralih pada moda transportasi lain seperti kereta dan bus yang hanya mewajibkan Rapid Diagnostic Test (RDT) antigen sebagai syarat perjalanan.
"Telah berbulan-bulan kebijakan melakukan tes untuk pelaku perjalanan domestik dilakukan. Apakah pernah dievaluasi efektivitasnya? Bahkan menjadi aneh ketika sarana transportasi yang lebih berisiko seperti kereta dan bus dengan durasi waktu lebih panjang tapi bisa menggunakan RDT antigen sebagai syarat perjalanan," jelas Pane.
"Bahkan pelaku usaha seperti supir bus, truk, bisa berlaku selama 14 hari. Pertanyaannya, apa makna tes pada pelaku perjalanan pada teknik pengendalian?" pungkasnya.
(vyp/up)











































