Seiring lonjakan kasus COVID-19 RI akibat varian Omicron, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan pembelajaran tatap muka (PTM). Sejumlah sekolah hingga saat ini juga masih menjalankan PTM meski bikin cemas para orang tua.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebut pihaknya tidak berencana menyetop skema sekolah tatap muka yang sudah berlangsung sejak Senin (3/1/2022).
"Sampai hari ini pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan, kalau ada hal-hal luar biasa akan diambil keputusan tersendiri. Kita tidak ada rencana untuk menghentikan sekolah tatap muka," ungkap Luhut dalam konferensi pers virtual terkait Hasil Rapat Terbatas 'Evaluasi PPKM', Senin (24/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan lainnya, Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Ristek RI, Dra Sri Wahyuningsih, MPd, menegaskan urgensi dilaksanakannya PTM. Menurutnya, PTM adalah kunci untuk memperbaiki sederet masalah akibat terlalu lama PJJ.
Akan tetapi, PTM tak boleh dilaksanakan sembarangan. Selain aktivitas belajar-mengajar dilakukan terbatas, tenaga pendidik dan siswa wajib menjalani protokol kesehatan sembari vaksinasi COVID-19 terus diupayakan.
"PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) terlalu lama telah menimbulkan berbagai persoalan pendidikan. Salah satunya adalah ketinggalan kualitas atau pencapaian pembelajaran. Selain itu, sosial yang tidak terbangun ketika anak-anak belajar di rumah menyebabkan kemunduran," terang Sri dalam webinar bertajuk 'PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya', Kamis (20/1).
"Masih ada catatan terbatas dilakukan 100 persen. Pelaksanaannya setiap hari, kemudian jam durasi belajarnya enam jam tetapi kantin belum boleh dibuka dulu. Kenapa? Karena dari sisi pemenuhan vaksin orangtua masyarakat sudah 80 persen wilayahnya ada di level 1 dan 2," sambungnya.
Sejumlah pakar epidemiologi menegaskan hal berbeda. Was-was risiko COVID-19 RI meledak lagi, mereka menyarankan penghentian PTM 100 persen. Simak di halaman selanjutnya.
Peringatan para pakar bisa disimak di halaman berikut.
Jangan tunggu COVID-19 RI meledak
Ahli epidemiologi berpandangan berbeda. Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono menyebut, pembatasan sosial untuk menekan kenaikan kasus COVID-19 seharusnya dilakukan secara komprehensif. Di antaranya, dengan membatasi aktivitas Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan Work from Office (WFO).
"Sekolah juga dengan SKB 4 Menteri itu dianjurkan tidak 100 persen. Seharusnya itu pengurangan kegiatan sosial. Seharusnya komprehensif dan yang dikurangi itu adalah kegiatan-kegiatan sosial yang punya dampak ekonomi kecil kemudian juga memiliki respons penularan kecil," terangnya pada detikcom, Senin (17/1).
Hal senada disampaikan oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman. Ia menegaskan, pengurangan mobilitas dan aktivitas tatap muka perlu dilakukan untuk mengatasi kenaikan kasus COVID-19 RI akibat cepatnya penularan varian Omicron. Salah satunya, dengan menerapkan kembali PJJ.
"Belajar daring atau secara online menjadi penting. Karena ini akan membantu mengurangi mobilitas," jelas Dicky pada detikcom.
"Kita jangan menunggu sampai meledak karena kalau sudah meledak, katakanlah awal Februari, sudah terlambat nanti. Karena kecepatan dari Omicron ini sangat efektif dalam menularkan dan dalam kecepatannya menyebar. Jumlah infeksinya bisa 4 kali lebih banyak," pungkasnya.
Lebih memilih PTM tetap lanjut atau ditunda dulu? Bagikan alasan di komentar ya.











































