Wanti-wanti IDI: Dokter Praktik ala Terawan Bakal Disidang Etik

Round Up

Wanti-wanti IDI: Dokter Praktik ala Terawan Bakal Disidang Etik

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Minggu, 10 Apr 2022 08:35 WIB
Wanti-wanti IDI: Dokter Praktik ala Terawan Bakal Disidang Etik
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mewanti-wanti para dokter untuk mengedepankan evidence based medicine. Dokter yang nekat menjalankan praktik dengan tujuan terapetik tanpa didasari bukti ilmiah bakal disidang.

Hal ini ditegaskan Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria. Menurutnya, pelanggaran terkait hal tersebut akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI di cabang atau wilayah terkait.

"Seandainya benar ada dokter yang masih melakukan tindakan tersebut dan dokter tersebut sementara sudah mengetahui tindakan ini belum memiliki bukti secara ilmiah dan dilakukan dengan tujuan terapeutik," buka Beni kepada detikcom, Jumat (8/4/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mendapat sanksi pemecatan permanen dari keanggotaan IDI yang salah satu konsiderannya adalah pelanggaran etik. Praktik 'cuci otak' digital substraction angiography (DSA) yang dilakukannya dinilai belum memiliki teruji secara ilmiah.

Menengok ke belakang, Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, Dr dr M Nasser, SpKK, DLaw mengingatkan bahwa pada 2018 praktik ini telah direkomendasikan untuk setop oleh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Menkes Nila saat itu juga telah membentuk satuan tugas untuk me-review metode tersebut.

ADVERTISEMENT

Namun dalam perkembangannya, praktik cuci otak yang juga disebut Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) ini tetap dijalankan sebagai pelayanan berbasis penelitian.

"Kenapa tidak dihentikan, kita bisa tanya kepada Menkes waktu itu dialihkan itu hasil (rekomendasi) menjadi Menkes berkirim surat ke KSAD, menyatakan bahwa boleh dilakukan tetapi pelayanan yang berbasis penelitian, kalau berbasis penelitian kan tidak boleh bayar, ini kan persoalannya seperti itu," terang dr Nasser dalam diskusi daring, pekan ini.

NEXT: Testimony based medicine dan Batu Ponari

Lihat juga Video: Irma Chaniago Soroti 2500 Dokter yang Tak Lolos Uji Kompetensi

[Gambas:Video 20detik]



Terkait dukungan dari para pejabat untuk praktik DSA Terawan, dr Nasser menegaskan bahwa testimoni tidak masuk di ranah kedokteran. Praktik kedokteran mengedepankan evidence based medicine (EBM), bukan testinomi.

"Kita sekarang tidak mengandalkan evidence based, tapi yang kita andalkan adalah testimony based medicine (TBM), orang bertestimoni saya enak, saya senang, saya gembira setelah di-DSA atau saya tidak sakit," tegas dr Nasser.

Penegasan senada juga disampaikan oleh pengamat masalah kesehatan dr Bambang Budiono. Dalam penjelasannya, ia menyinggung kisah Elisha Perkins di abad ke-18 yang memperkenalkan tongkat Perkins ciptaannya.

Didukung testimoni dari mulut ke mulut, temuan tersebut sempat dipatenkan dan bahkan berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran di Amerika Serikat. Belakangan ketika Perkins sudah meninggal, terungkap bahwa yang terjadi adalah efek plasebo.

"Kisah di atas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika 'batu Ponari' pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang," papar dr Bambang.

Halaman 2 dari 2
(up/up)

Berita Terkait