Direktur Yayasan IPAS Indonesia dr Marcia Soumokil, MPH, menekankan pentingnya akses kontrasepsi darurat bagi perempuan korban kekerasan seksual. Sebab jika terjadi kehamilan, korban bisa menanggung beban yang lebih berat lagi sepanjang hidup mereka.
"Akses ke kontrasepsi darurat. Kalau tidak mau aborsi, buka dong, ke kontrasepsi darurat untuk korban perkosaan," ujar dr Marcia.
Kontrasepsi darurat ini diberikan ke korban kekerasan seksual dalam 72 jam atau tiga hari usai kasus terjadi. Aturan ini juga telah masuk ke dalam Tata Laksana Pelayanan Kesehatan Seksual bagi Korban Kekerasan Seksual yang disusun oleh Kementerian Kesehatan.
"Jadi memang kurang dari 72 jam itu kita punya cukup waktu sebenarnya untuk mencegah kehamilan apabila kekerasan seksual perkosaan terjadi hubungan seksual penetratif," jelas dr Marcia.
Meski telah masuk dalam tatalaksana medis yang disusun Kemenkes, alat kontrasepsi darurat masih tidak mudah didapatkan oleh korban. Salah satu alasannya karena belum masuknya obat tersebut dalam daftar obat esensial.
Miskonsepsi tentang kontrasepsi darurat juga menjadi salah satu alasan obat ini tidak tersedia di seluruh fasilitas kesehatan.
"Dia (alat kontrasepsi darurat) tidak ada di daftar obat karena masih banyak miskonsepsi, bahwa alat kontrasepsi ini untuk aborsi. Padahal enggak, dia itu mencegah kehamilan," pungkas dr Marcia.
Simak Video "Waspada Pelecehan Seksual pada Laki-laki"
[Gambas:Video 20detik]
(kna/up)