The silent killer atau hipertensi adalah penyakit mematikan yang muncul tanpa gejala pasti. Jangan tertipu dengan pendapat yang menyatakan bahwa pengidap hipertensi biasanya mengalami sakit kepala. Justru, sebagian besar pengidapnya tidak merasakan gejala apapun.
Munculnya gejala baru akibat pengabaian kadar tekanan darah akan berisiko keterlambatan penanganan. Yuk, kenali hipertensi lebih dekat guna mendeteksi lebih awal perkembangan penyakit tersebut.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko kerusakan organ penting, seperti otak, jantung, ginjal, retina mata, dan pembuluh darah. Abai terhadap kendali tekanan darah dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang akibat gangguan organ bahkan kematian.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia pada 2018 sebesar 63.309.620 orang, sedangkan angka kematiannya sebanyak 427.218 orang. Prevalensinya kian meningkat dari 27,8 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018.
Lebih lanjut, riset tersebut melaporkan hipertensi paling banyak terjadi di kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 55,2 persen, umur 31-44 tahun sebanyak 31,6 persen, dan umur 45-54 tahun sebanyak 45,3 persen.
Seseorang dikatakan mengidap hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Mereka yang terdiagnosis hipertensi, disarankan mengubah gaya hidup jadi lebih sehat dan mengonsumsi obat antihipertensi guna mencegah komplikasi kerusakan organ.
Tekanan darah sistolik 130-139 mmHg atau diastolik 85-89 mmHg dikategorikan tekanan darah normal-tinggi. Orang dengan tekanan darah tersebut tetap mendapat saran yang serupa, namun pengonsumsian obat antihipertensi hanya dilakukan bila terdapat indikasi tambahan.
Meskipun hasil pengukuran tekanan darah di fasilitas kesehatan merupakan standar baku dalam mengetahui hipertensi, tetapi masyarakat dapat mengukur tekanan darah secara mandiri di rumah. Adapun beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Pengukuran dilakukan pada posisi duduk dengan kaki menapak di lantai (kaki tidak disilang) dan punggung bersandar di kursi atau dinding,. Kemudian, lengan diletakkan pada permukaan yang datar setinggi letak jantung.
- Pemeriksaan dilakukan dalam kondisi tenang. Jangan merasa cemas, gelisah, ataupun kesakitan. Dianjurkan istirahat 5 menit sebelum pemeriksaan.
- Tidak dalam pengaruh kafein atau rokok.
- Sebaiknya hindari aktivitas olahraga minimal 30 menit sebelum pemeriksaan.
- Tidak sedang menahan buang air kecil atau besar.
- Tidak mengenakan pakaian ketat, terutama di bagian lengan.
- Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan nyaman.
- Pasien dalam keadaan diam dan tidak berbicara saat pemeriksaan.
- Gunakan spigmomanometer yang telah divalidasi setiap 6-12 bulan dengan ukuran manset yang sesuai.
Penyebab Hipertensi
Ada dua hal yang mendasari terjadinya penyakit ini. Apabila tekanan darah tinggi terjadi bukan karena penyakit lain disebut hipertensi primer, penyebabnya meliputi:
- Resistensi insulin.
- Asupan garam tinggi.
- Asupan alkohol yang berlebihan.
- Memiliki gaya hidup yang tidak banyak bergerak.
- Merokok.
Sementara itu, kenaikan tekanan darah terjadi akibat komplikasi penyakit lain disebut hipertensi sekunder. Kondisi yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder meliputi:
- Gangguan ginjal, seperti penyakit ginjal kronis, glomerulonefritis (peradangan di ginjal yang ditandai dengan adanya protein dalam urine), dan penyakit ginjal polikistik.
- Gangguan endokrin, seperti diabetes, gangguan kelenjar tiroid, gangguan kelenjar adrenal.
- Apnea tidur (gangguan tidur yang disebabkan pernapasan terhenti sementara).
- Kehamilan, misalnya pada kondisi preeklamsia atau eklamsia.
- Obesitas.
Faktor Risiko Hipertensi
1. Usia
Telah disebutkan pada Riskesdas di atas, hipertensi memang sering terjadi pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Tekanan darah dapat terus meningkat seiring bertambahnya usia karena arteri menjadi kaku dan menyempit sehingga terjadi penumpukan plak.
2. Etnis dan Genetik
Beberapa kelompok etnis telah tercipta lebih rentan terkena hipertensi, salah satunya adalah etnis Afrika-Amerika. Mereka memiliki risiko lebih tinggi daripada kelompok etnis lain.
3. Berat Badan Berlebih
Obesitas merupakan faktor risiko utama terkena hipertensi. Sebab, penumpukan lemak dalam darah akan menyebabkan arteri menyempit.
4. Jenis Kelamin
Menurut laporan pada tahun 2018, pria memiliki risiko lebih tinggi terkena hipertensi daripada wanita. Namun, hal ini hanya sampai setelah wanita mencapai menopause.
5. Stres
Terlalu banyak pikiran bisa memicu jantung lebih cepat sehingga tekanan darah menjadi lebih tinggi.
Pengobatan Hipertensi
Sebenarnya, tidak sulit melakukan pengobatan untuk hipertensi. Pengidapnya hanya perlu mendisiplinkan diri untuk hidup sehat dan menjaga pola makan. Selain itu, ahli medis menganjurkan gaya hidup sehat, seperti:
1. Latihan Fisik Secara Teratur
Pasien hipertensi disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobik dinamik dengan intensitas sedang, seperti berjalan santai, jogging, bersepeda, atau berenang selama 5-7 hari per minggu. Bisa juga latihan intensitas tinggi selama 75 menit per minggu.
2. Menjauhi Rokok
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah. Menghindari atau berhenti merokok dapat mengurangi risiko hipertensi, kondisi jantung yang serius, dan masalah kesehatan lainnya.
3. Pengobatan Medis
Jika terdiagnosis hipertensi, orang tersebut diharapkan segera berkonsultasi dengan dokter. Obat-obatan hipertensi perlu dikonsumsi secara teratur untuk mengendalikan tekanan darah tinggi agar terhindar dari komplikasi.
Tidak perlu menunggu gejala yang lebih parah sebelum memutuskan berkonsultasi dengan dokter. Sebab, hipertensi tidak menimbulkan gejala khusus.
4. Diet Sehat
Mengurangi asupan garam merupakan salah satu pola makan sehat bagi pengidap hipertensi. Konsumsi banyak sodium berkontribusi terhadap tekanan darah tinggi. Sumber utama dari senyawa ini dalam makanan adalah garam.
The American Heart Association merekomendasikan orang tanpa hipertensi mengonsumsi sodium atau natrium kurang dari 2.300 mg. Hal ini setara dengan lima gram atau satu sendok teh garam per hari.
Lalu, orang dengan hipertensi harus mengonsumsi sodium lebih sedikit, yakni kurang dari 1.500 mg atau setara dengan tiga gram atau dua per tiga sendok teh garam). Selain pada garam, sodium juga ditemukan pada banyak makanan kemasan.
Jika sebuah keluarga memiliki riwayat turunan hipertensi, mulai kini mereka harus memerhatikan jumlah sodium dalam makanan olahan atau kemasan. Karena tanpa disadari, mungkin banyak dari masyarakat yang masih mengonsumsi makanan kemasan tinggi garam.
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan, asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh.
Komplikasi Hipertensi
Jika tidak melakukan pengobatan atau tindakan yang lebih dalam, hipertensi bisa menyebabkan kerusakan pada organ tubuh, seperti:
- Stroke.
- Serangan jantung.
- Gagal jantung.
- Penyakit arteri perifer (tersumbatnya aliran darah ke tungkai).
- Aneurisma aorta (pembengkakan pembuluh darah besar).
- Penyakit ginjal.
- Demensia vaskular (gangguan aliran darah ke otak).
- Gangguan retina mata
Kapan Harus ke Dokter
Jangan biarkan 'silent killer' ini terjebak dan perlahan menggerogoti tubuh. Untuk itu, setiap orang disarankan menjalani pemeriksaan rutin, terutama orang dengan risiko tinggi. Jika tekanan darah sudah masuk kategori tinggi, cepatlah berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam supaya mendapatkan pengobatan yang tepat dan menyeluruh.
Ditinjau oleh:
dr Elizabeth Yasmine Wardoyo, SpPD-KGH
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi
RS Pondok Indah - Bintaro Jaya
![]() |
Simak Video "Indra Bekti Punya Riwayat Hipertensi Setahun Terakhir"
[Gambas:Video 20detik]
(Fadilla Namira/suc)